Jakarta, MONITORNUSANTARA.COM,- Dituduh menerima BLBI padahal sepeserpun tak ada, Andri Tedja hanya bisa pasrah. Meski dalam tekanan kezaliman, ia mencoba untuk tersenyum bijak. Andri Tedja bahkan mencoba untuk membela diri dari jeratan ketidaksalahannya dengan menggugat Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Cabang DKI Jakarta, KPL, dan Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dia mengklaim bahwa dia mendadak ditagih dan dipaksa untuk membayar kewajiban BLBI sebesar hampir Rp1 Triliun, yang menurutnya tidak pernah dia terima.
Andri Tedjadharma dengan tegas menyatakan bahwa BCI tidak pernah menerima sepeser pun dana talangan dari Bank Indonesia (BI). Pada saat itu, menurutnya, BCI adalah bank yang sehat dan tidak memiliki masalah finansial.
“Tuduhan bahwa kami menerima BLBI tidak benar dan sama sekali tidak berdasarkan hukum. Terbukti dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2000, dana BLBI itu mengalir ke rekening rekayasa yang dibuat Bank Indonesia,” ujarnya.
“Andaikan pun ada yang menyebutkan bahwa BCI pernah menerima dana BLBI, saya ingin menegaskan bahwa kami tidak pernah menerima satu rupiah pun,” tambahnya.
Andri juga menyatakan kekecewaannya terkait dengan tagihan ini dan merasa dizalimi. Dia memiliki niat untuk membuka semua fakta yang sebenarnya terjadi dalam sebuah talkshow di salah satu stasiun televisi dalam waktu dekat.
Selama 26 tahun, Andri mengklaim bahwa dia telah ‘terpenjara’ sebagai seorang pengusaha dan bankir. Dia tidak dapat membuka usaha baru dan bahkan tidak dapat meminjam uang di bank karena namanya telah tercemar akibat BLBI.
Hal yang membuatnya bertanya-tanya adalah mengapa BCI dibekukan operasinya, padahal BCI tidak pernah menerima dana BLBI.
Lebih lanjut, Andri menjelaskan bahwa pernyataannya bukanlah untuk mencari kesalahan atau menyalahkan pihak lain. Tujuannya adalah mencari kebenaran dan diakui oleh semua pihak terkait.
Meskipun Andri telah memenangkan perkara di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, BCI tetap dianggap menerima dana bantuan dan terus menerima surat paksa bayar dari pihak berwenang.
“Bank Centris itu bukan penanggung hutang negara. Apalagi, saya secara pribadi dan juga keluarga. Tidak ada satu putusan hukum yang menetapkan kami penanggung hutang negara. Bahkan, sudah 6 kali perkara hukum, di pengadilan negeri maupun PTUN, tidak ada satu amar putusan yang menyatakan kami penanggung hutang negara,” jelasnya.
Andri menegaskan, Indonesia ini negara hukum. Karena itu, Kementerian Keuangan cq DJKN cq PUPN, KPKNL maupun Satgas BLBI bukan pihak yang berhak menentukan Bank Centris maupun ia dan keluarga, sebagai penanggung hutang negara. Yang berhak untuk itu hanya lembaga pengadilan.
“Jadi, Kemenkeu dengan jajarannya itu tidak punya dasar hukum sama sekali. Mereka main tagih, main sita, dan main lelang itu tanpa hukum. Merampas hak asasi kami. Mereka sewenang-wenang,” tegasnya.
Andri merasa terus mendesak untuk membayar dana talangan, meskipun bank Centris tidak pernah menerima bantuan. Oleh karena itu, dia berencana untuk mengambil tindakan hukum baik secara perdata maupun pidana.
Dalam pernyataannya, Andri menyebut Bank Indonesia melakukan penipuan dan penggelapan terhadap bangsa Indonesia, bukan terhadap Bank Centris. Dia menegaskan bahwa semua klaimnya didasarkan pada bukti-bukti yang telah diperiksa dan disahkan oleh hakim yang mengadili perkara Bank Centris di pengadilan.
Oleh sebab itu, lanjut Andri, sebagai warga negara yang taat pada hukum, dirinya sudah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum Kementerian Keuangan ke PN Jakarta Pusat sebagai tergugat I dan Bank Indonesia sebagai tergugat II. Sidang dengan perkara nomor 171/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Pst., ini sudah berjalan sejak empat kali, namun masih dalam proses administrasi terkait legalitas para pihak.
“Kita lihat dan kita buktikan saja di Pengadilan Jakpus itu, siapa yang salah dan siapa yang benar,” pungkas Andri.
Seperti diketahui, sejak dibentuk 2021, Satgas BLBI aktif menagih Andri Tedjadharma dengan menyebut ia sebagai obligor BLBI. Kemudian, melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta, mereka menetapkan SK jumlah utang dan paksa bayar kepada Andri sebesar lebih dari Rp897 milyar.
Tentu saja, Andri menolak disebut obligor BLBI. Pasalnya, perkara BPPN yang menagih Bank Centris Internasional masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung (MA). Andri heran dari mana PUPN dan KPKNL bisa menetapkan bahwa dirinya sebagai penanggung hutang negara, dengan jumlah utang sebesar itu. Padahal, belum ada keputusan kasasi soal itu.
Lantaran itu, Andri menggugat SK PUPN itu ke PTUN Jakarta. Hasilnya, majelis hakim PTUN memenangkan gugatan Andri Tedjadharma dan memerintahkan PUPN mencabut dan membatalkan SK penetapan jumlah utang dan paksa bayar Rp897 milyar tersebut. Putusan PTUN ini diperkuat lagi oleh majelis hakim di tingkat banding atau PT TUN.
Alih-alih menyadari kesalahan dengan membuat SK itu, PUPN dan KPKNL menagih Andri lagi dengan jumlah yang lebih besar lagi, yakni sekitar Rp4,5 Triliun. KPKNL menyebutkan tagihan itu mengkoreksi jumlah sebelumnya dengan menambahkan bunga sejak tahun 1998. Dasar tagihan, salinan putusan MA nomor 1688 dari PN Jakarta Selatan tahun 2022.
Andri sendiri juga menerima salinan putusan MA nomor 1688 itu dari PN Jakarta Selatan, pada 2 November 2022. Namun, ia heran dan bingung, bagaimana mungkin salinan kasasi MA yang diputus tahun 2006, baru dia terima di tahun 2022.
“Sangat aneh. 16 tahun baru saya terima salinan putusan kasasi. Apalagi, selama itu pula saya tidak diam menunggu. Saya juga mencari putusan MA itu, tapi tidak pernah ada,” ujarnya.
Menyadari ada keanehan dan kejanggalan dari salinan putusan MA itu, Andri pun berinisiatif menanyakan perkara BPPN melawan Bank Centris Internasional, ke Ketua MA. Hasilnya, sungguh mengejutkan. Panitera Muda bidang Perdata MA yang ditugaskan oleh Ketua MA memberikan surat jawaban, bahwa MA tidak pernah menerima berkas kasasi perkara BPPN melawan Bank Centris Internasional.
Surat MA tertanggal 10 Mei 2023, dengan tegas menyebut hal itu. Karena ini pula, Andri memastikan salinan putusan MA nomor 1688 yang diterimanya pada 2 November 2022, dan digunakan oleh KPKNL sebagai dasar menagih, menyita bahkan melelang harta pribadinya sebagai salinan putusan MA yang diada-adakan. Dalam bahasa orang awam, salinan itu sebagai putusan palsu atau bodong.
Apa yang dikatakan Andri sejalan dengan jawaban Prof Bagir Manan, mantan Ketua MA yang juga sebagai Ketua Majelis Hakim perkara tersebut yang dikonfirmasi wartawan. Bagir Manan tidak mengakui salinan putusan MA nomor 1688 sebagai putusannya. “Itu bukan putusan saya,” tuturnya.
Namun, terlepas dari asli atau palsunya salinan putusan MA itu, kata Andri, isi amar putusan nomor 1688 juga tidak membuat dirinya sebagai penanggung hutang negara. Sebaliknya, amar putusan itu memperkuat Bank Centris Internasional tidak terlibat BLBI. Bank Centris Internasional terikat perjanjian jual beli promes sebesar Rp 492 milyar disertai jaminan lahan seluas 452 hektar dengan Bank Indonesia.
Nah, masihkah Kementerian Keuangan cq DJKN cq PUPN cq KPKNL maupun Satgas BLBI bersikeras menagih, menyita dan melelang harta pribadi Andri Tedjadharma dengan cara melawan hukum? Mari, kita tunggu dan lihat perkembangan informasinya. (tim)