Jakarta, MONITORNUSANTARA.COM,- Pakar Hukum Narkotika Dr Anang Iskandar meminta para hakim yang mengadili kasus penyalahgunaan narkotika benar-benar menyelami dan memahami Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang ini mewajibkan hakim memberikan vonis hukuman rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika hingga sembuh dari penyakit kecanduan. Hal tersebut diatur dalam pasal 103 UU Narkotika.
Pasal ini menjadi kunci utama yang memiliki filosofi dan tujuan agar pencegahan narkotika dilakukan dengan mengurangi jumlah pecandu narkotika.
Hal ini disampaikan Dr Anang Iskandar dalam rangka Peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) 2024 yang diselenggarakan di Pekanbaru, Riau, Rabu (26/6/2024). Kepala Badan Narkotika Nasional (Kepala BNN) 2012-2015 ini ikut menghadiri acara peringatan HANI 2024.
Menurut Anang Iskandar, hukuman rehabilitasi lebih memberikan manfaat dan kepastian hukum ketimbang menjatuhkan vonis penjara yang justru akan memperbanyak jumlah korban kecanduan narkotika. Data menunjukkan kasus para penyalahguna narkotika yang divonis penjara, mayoritas mereka akan menggunakan barang haram tersebut dan kembali ditangkap. Padahal ia sudah pernah dipenjara akibat menggunakan narkotika.
“Hal ini terjadi karena hukuman yang diberikan hakim bukan mengobati korban narkotika yakni pecandu atau penyalahguna narkotika. Hakim justru memenjarakan mereka,” kata Anang Iskandar dalam bincang-bincang sambil ngopi bersama para Pemimpin Redaksi Media di Jakarta, Rabu Malam.
“Padahal korban narkotika tempatnya bukan di penjara tapi harus direhabilitasi, dan diterapi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dengan tanggungan negara,” tambahnya.
Jika program ini dijalankan, lanjut Anang, maka permintaan narkotika akan menurun dan para bandar akan sepi pembeli.
Usai menghadiri acara Peringatan HANI 2024 di Pekan Baru Riau, Anang Iskandar bincang-bincang sambil ngopi bersama Pemimpin Redaksi EDITOR.ID Edi Winarto, Pemred Majalah MATRA Budi Rahardjo dan Pemred Harian Kami.com Asri Hadi di Jakarta, Rabu Malam.
Anang Iskandar menegaskan bahwa upaya hukuman rehabilitasi juga akan membantu mengurangi over capasity penjara atau lapas. Menghukum pecandu narkotika dengan mengirim ke penjara ibarat mempertemukan pembeli atau pecandu dengan bandar narkoba yang sedang menjalani hukuman pidana.
“Hukuman dengan menempatkan rehabilitasi adalah upaya penanggulangan yang lebih efektif untuk mengurangi jumlah pencandu Narkotika. Namun dalam kenyataannya sebagian besar pencandu Narkotika berakhir dengan hukuman penjara bukan rehabilitasi,” ujar Anang.
Hal ini pernah dilakukan Anang Iskandar saat dirinya masih aktif sebagai Kepala BNN. Saat itu Anang menangani kasus narkotika yang menimpa selebritis Raffi Ahmad. Saat Raffi tertangkap basah menggunakan narkotika, Anang tidak menghukum atau mengajukan Raffi ke pengadilan agar dihukum.
“Tapi waktu itu saya langsung mengirim Raffi ke tempat Rehabilitasi untuk menjalani terapi ketergantungan narkoba, hasilnya? Raffi Ahmad hingga sekarang telah bebas dari ancaman bahaya narkotika, meski waktu itu saya sempat di pra peradilan oleh pemgacaranya, namun sejak “hukuman” rehabilitasi saya lakukan Raffi benar-benar sembuh,” katanya.
Beda dengan sejumlah artis yang dijatuhi pidana penjara. Usai bebas dari penjara, polisi kembali menangkap sang artis tersebut karena kembali kedapatan menggunakan narkotika.
“Disitu bisa diambil pelajaran bahwa ternyata ia belum sembuh dari ketergantungan narkotika akibat salah dalam menerapkan hukuman,” katanya.
Contohnya banyak sekali artis yang beberapa kali tertangkap karena kembali menggunakan narkotika. Misalnya Ibra Azhari, Ammar Zoni.
Banyak hakim tidak memahami makna substansial dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pendekatan hakim memperlakukan terdakwa penyalahguna narkotika sebagai kejahatan pidana. Hakim lupa bahwa dalam UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 mewajibkan hakim memberikan hukuman rehabilitasi bukan pidana penjara.
“Karena penyalahguna narkoba atau pecandu yang menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri sebenarnya adalah korban kejahatan narkotika. Ia terperdaya dan terkena bujuk rayu sehingga menggunakan narkotika. Korban narkotika seharusnya tidak dihukum,” kata Anang Iskandar.
Kepala BNN 2012-2015 ini meminta hakim mempelajari dan memahami lebih susbtansial perintah dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Telah diatur dengan tegas di dalam Pasal 103 Ayat (1) dimana pasal ini memberikan pedoman bagi hakim dalam putusan vonisnya untuk wajib menempatkan pecandu Narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi.
“Jelas dipasal 103 diatur bahwa hakim diberikan pedoman untuk menempatkan pecandu Narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi terbukti atau tidaknya dalam persidangan,” tegas Anang Iskandar.
“Dalam Pasal 54 UU Narkotika juga sudah ditegaskan lagi dengan menyatakan bagi pecandu Narkotika rehabiltasi bersifat wajib,” tegas Anang.
Diakui pada pasal 127 ayat 1 UU Nomor 35 tahun 2009 mengatur tentang pengaturan pengenaan sanksi bagi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika, setiap penyalaguna narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) Tahun.
Namun pasal 127 ayat 1 ini merupakan satu kesatuan dengan Pasal 127 ayat 2 dan ayat 3. Jadi hakim tak boleh hanya melihat pasal 127 ayat 1, hakim juga wajib melaksanakan aturan ayat 2 dan ayat 3 yang berbunyi :
Pada ayat 2 jelas sudah mengatur bahwa dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
Di ayat 3 nya mengatur bahwa dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Sudah 7 tahun sejak pensiun sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional, Anang berjuang ingin mengubah cara berpikir dan mindset para penegak hukum dalam memahami UU Narkotika yang jelas-jelas tidak memberikan ruang untuk memenjarakan atau mempidanakan pecandu atau penyalahguna narkotika. Karena mereka adalah korban bukan penjahat narkotika. Penjahat yang sesungguhnya adalah pengedar dan bandar narkotika.
“Jika semua penyalahguna dihukum penjara, maka penjara akan penuh dengan penghuni korban peredaran narkoba. Dipenjara mereka akan bertemu napi yang berasal dari bandar atau pengedar narkotika, maka penjara justru akan tumbuh subur peredaran narkotika, karena ada pembeli dan penjual didalam penjara,” kata Anang. (tim)