JATIM MonitorNusantara.com-
Kompak.. wali murid menggeruduk SDN 19 Gresik pada Senin (21/7/2023).
Mereka protes dengan kewajiban membeli buku sekolah dengan harga ratusan ribu.
Lasmono bersama ibu-ibu wali murid duduk di halaman sekolah.
Tanpa beralaskan tikar, hanya berteduh di bawah pohon, menduduki sekolah.
Maklum, dia baru saja membeli buku yang dirasa memberatkan.
Namun, tidak ada kejelasan, hingga rinciannya.
Kami butuh kejelasan, uangnya untuk apa saja, wali kelas tidak bisa menjawab akhirnya kami kesini,” ujarnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, demo wali murid ini dipicu kebijakan sekolah yang mewajibkan siswa membeli buku paket.
Besarannya berbeda-beda setiap kelas.
Kelas 1 sebesar Rp 563 ribu, kelas 2 Rp 606 ribu, kelas 3 Rp 500 ribu, kelas 4 Rp 812 ribu, kelas 5 Rp 843 ribu dan kelas 6 Rp 583 ribu.
Kurang lebih selama empat jam, wali murid menduduki halaman sekolah meminta kejelasan.
Mereka rela menunggu berjam-jam karena ada perwakilan yang sedang mediasi di dalam ruangan kelas bersama kepala sekolah, komite dan lainnya.
Salah satu ibu wali murid yang enggan disebutkan namanya, mengaku sangat keberatan dengan kebijakan tersebut
Terlebih lagi, dia memiliki dua orang anak.
Membayar buku yang harganya mahal, membuatnya keberatan dan meminta kejelasan pihak sekolah.
“Bayar Rp 500 ribu, sangat memberatkan karena wajib. Sekarang ada buku tulis Rp 6 ribu harus beli 10. Belum lagi LKS,” ujarnya.
Dia terpaksa membayar karena kasihan anaknya jika tidak memiliki buku.
Dulu, wali murid bebas membeli buku di luar sekolah.
Sekarang wajib beli di sekolah.
Sebelumnya, dua sekolah dasar (SD) di Bojonegoro dimerger oleh dinas pendidikan setempat. Keduanya yaitu SD Negeri 3 Sumberejo dan SD Negeri Megale 1.
Proses merger menuai penolakan dari orangtua siswa, hingga berujung pada aksi unjuk rasa di kantor Bupati yang berada di jalan Mastumapel no 1, Jumat (21/7/2023).
Dengan berseragam khas putih merah, anak-anak SD ini hanya bisa membentangkan berbagai poster penolakan merger sekolah.
Tulisan dalam poster itu di antaranya, SD Megale 1 menolak Merger.
Lalu kebijakan merger yang tidak sesuai dengan di lapangan membuat anak didik terlantar.
Kemudian, kami tidak mau sekolah di tanah sengketa.
Mereka tetap semangat dan terus bernegosiasi dengan satpol PP, untuk bisa masuk bertemu dengan bupati Anna Mu’awanah atau pejabat lainnya, namun tetap saja tak ada jawaban yang memuaskan.
Diknas bilangnya merger itu SK bupati, padahal kita tahu itu tetap usulan dari diknas. Kita yakin Bupati tidak salah namun yang salah adalah Diknas, sehingga kami ingin bertemu bupati untuk menyampaikan masalah ini,” kata Yulin salah satu wali murid SDN Sumberejo 3.
Usaha para siswa dan wali murid tidak mendapat jawaban memuaskan,
bahkan terus mendapat penolakan dari pihak pengamanan pemkab.
Para siswa dan orang tua akhirnya memilih untuk mendatangi kantor DPRD Bojonegoro untuk meminta solusi.
Bahkan sebelum meninggalkan kantor pemkab, salah satu wali murid berorasi dengan lantang.
“Gedung semegah ini, satupun pejabat tidak ada yang bisa kita temui. Artinya semua hanya jual tampang” ucap Yulin yang juga sebagai korlap aksi.
Para orang tua dan anak-anak ini hanya bisa mencurahkan isi hatinya di depan pintu gerbang pemkab, mereka tak bisa masuk karena terhadang oleh pasukan pengamanan satpol PP.
Untuk selanjutnya, para pengunjuk rasa penolak merger ini bergeser ke DPRD Bojonegoro .