Oleh : Sapto Raharjanto
Penulis : Ketua DPW Seknas Jokowi Provinsi Jawa Timur

BANYAK KALANGAN yang melihat perkembangan politik, sosial, ekonomi dan budaya di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kekhawatiran itu menjadi semakin nyata ketika menjelajah pada apa yang dialami oleh setiap warganegara, yakni munculnya rasa apatisme dan kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex), memudarnya wawasan kebangsaan.

Di kalangan birokrat juga sering muncul sifat “hollands denken” (gaya berpikir meniru penjajah Belanda) yang cenderung tidak mau melayani masyarakat dan malah ingin dilayani oleh masyarakat, berwatak feudal, tidak disiplin dan cenderung korup.

Dewasa ini, dampak krisis multi-dimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa.

Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia.

Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan reevaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini.

Karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an.

Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Bung Karno yaitu, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekhawatiran Bung Karno yaitu, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.

Dalam revolusi nasional Indonesia, gagasan revolusi mental memang tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno. Beliaulah yang menjadi pencetus dan pengonsepnya. Bung Karno pula yang mendorong habis-habisan agar konsep ini menjadi aspek penting dalam pelaksanaan dan penuntasan revolusi nasional Indonesia. Gagasan revolusi mental mulai dikumandangkan oleh Bung Karno di pertengahan tahun 1950-an. Tepatnya di tahun 1957. Saat itu revolusi nasional Indonesia sedang ‘mandek’. Padahal, tujuan dari revolusi itu belum tercapai.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek.

Pertama, terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional. Situasi semacam itu memang biasa terjadi. Kata Bung Karno, di masa perang pembebasan (liberation), semua orang bisa menjadi patriot atau pejuang. Namun, ketika era perang pembebasan sudah selesai, gelora atau militansi revolusioner itu menurun.

Kedua, banyak pemimpin politik Indonesia kala itu yang masih mengidap penyakit mental warisan kolonial, seperti “hollands denken” (gaya berpikir meniru penjajah Belanda). Penyakit mental tersebut mencegah para pemimpin tersebut mengambil sikap progressif dan tindakan revolusioner dalam rangka menuntaskan revolusi nasional.
Sementara di kalangan rakyat Indonesia, sebagai akibat praktek kolonialisme selama ratusan tahun, muncul mentalitas ‘nrimo’ dan kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex) di hadapan penjajah.

Ketiga, terjadinya ‘penyelewengan-penyelewengan’ di lapangan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Penyelewengan-penyelewengan tersebut dipicu oleh penyakit mental rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Juga dipicu oleh alam berpikir liberal, statis, dan textbook–thinkers(berpikir berdasarkan apa yang dituliskan di dalam buku-buku).

Di lapangan ekonomi, hingga pertengahan 1950-an, sektor-sektor ekonomi Indonesia masih dikuasai oleh modal Belanda dan asing lainnya. Akibatnya, sebagian besar kekayaan nasional kita mengalir keluar. Padahal, untuk membangun ekonomi nasional yang mandiri dan merdeka, struktur ekonomi kolonial tersebut mutlak harus dilikuidasi.

Namun, upaya melikuidasi struktur ekonomi nasional itu diganjal oleh sejumlah pemimpin politik dan ahli ekonomi yang mengidap penyakit rendah diri (minderwaardigheid-complex). Bagi mereka, Indonesia yang baru merdeka belum punya modal dan kemampuan untuk mengelola sendiri kekayaan alamnya. Karena itu, mereka menganjurkan kerjasama dengan negara-negara barat dan sebuah kebijakan ekonomi yang toleran terhadap modal asing.

Di lapangan politik, Indonesia kala itu mengadopsi demokrasi liberal yang berazaskan “free fight liberalism”. Alam politik liberal itu menyuburkan perilaku politik ego-sentrisme, yakni politik yang menonjolkan kepentingan perseorangan, golongan, partai, suku, dan kedaerahan. “Dulu jiwa kita dikhidmati oleh tekad: aku buat kita semua. Sekarang: aku buat aku!” keluh Bung Karno.

Demokrasi liberal ini juga menyebabkan ketidakstabilan politik dan perpecahan nasional. Akibatnya, dalam periode demokrasi liberal antara tahun 1950 hingga 1959, terjadi 7 kali pergantian pemerintahan/kabinet. Tak hanya itu, gerakan separatisme dan fundamentalisme juga menguat kala itu.

Bung Karno menyebut demokrasi liberal sebagai “hantam-kromo”; bebas mengkritik, bebas mengejek, dan bebas mencemooh. Di sini Bung Karno tidak alergi dengan kebebasan menyatakan pendapat dan melancarkan kritik. Namun, menurut dia, setiap kebebasan mestilah punya batas, yakni kepentingan rakyat dan keselamatan negara.

Di lapangan kebudayaan merebak penyakit individualisme, nihilisme dan sinisme. Kebudayaan tersebut membunuh kepribadian nasional bangsa Indonesia yang berdasarkan kolektivisme dan gotong-royong.

Tak hanya itu, kebudayaan feodal dan imperialistik juga bergerilya menanamkan jiwa pengecut, penakut, lemah, dan tidak percaya diri kepada rakyat Indonesia dalam bertindak dan berbuat.

Itulah yang dihadapi oleh revolusi nasional saat itu. Dan, di mata Bung Karno, sebagian besar rintangan terhadap revolusi di atas bersumber pada corak berpikir dan bertindak yang bertolak-belakang dengan semangat kemajuan.

Jadi, revolusi mental ala Bung Karno itu sangat dipengaruhi oleh konteks ekonomi-politik jaman itu. Revolusi mental-nya juga tidak diisolir dari perjuangan mengubah struktur ekonomi-politik kala itu.

Karena itu, Bung Karno menyerukan perlunya “Revolusi Mental”. Dia mengatakan, “karena itu maka untuk keselamatan bangsa dan negara, terutama dalam taraf nation building dengan segala bahayanya dan segala godaan-godaannya itu, diperlukan satu Revolusi Mental.”

Esensi dari revolusi mental ala Bung Karno ini adalah perombakan cara berpikir, cara kerja/berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional. “Ia adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala,” kata Bung Karno.

Perombakan cara berpikir, cara kerja, dan cara hidup ini punya dua tujuan besar: pertama, menamankan rasa percaya diri pada diri sendiri dan kemampuan sendiri; dan kedua, menanamkan optimisme dengan daya kreatif di kalangan rakyat dalam menghadapi rintangan dan kesulitan-kesulitan bermasyarakat dan bernegara.

Untuk melancarakan revolusi mental ini, Bung Karno kemudian menganjurkan ‘Gerakan Hidup Baru’. Gerakan ini merupakan bentuk praksis dari revolusi mental. Menurut Bung Karno, setiap revolusi mestilah menolak ‘hari kemarin’ (reject yesterday). Artinya, semua gaya hidup lama, yang tidak sesuai dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi, mestilah dibuang.

Namun, ia menolak anggapan bahwa Gerakan Hidup Baru hanyalah soal penyederhanaan alias hidup sederhana. “Buat apa sederhana, kalau kesederhanaan itu ya sederhanannya seorang gembel yang makan nasi dengan garam saja, tidak dari piring tapi dari daun pisang, dan tidur di tikar yang sudah amoh.

Tetapi jiwanya mati seperti kapas yang sudah basah, yaitu jiwa mati yang tiada gelora, jiwa mati yang tiada ketangkasan nasional sama sekali, jiwa mati yang tiada idealisme yang berkobar-kobar, jiwa mati yang tiada kesediaannya untuk berjuang. Buat apa kesederhanaan yang demikian itu?” katanya.

Bung Karno sadar, revolusi mental tidak akan berjalan hanya dengan celoteh dan kotbah tentang pentingnya perbaikan moral dan berpikir positif. Revolusi mental versi Bung Karno bukanlah ajakan berpikir positif dan optimistik ala Mario Teguh. Karena itu, sejak tanggal 17 Agustus 1957 pemerintahan Presiden Sukarno melancarkan sejumlah aksi: hidup sederhana, gerakan kebersihan/kesehatan, gerakan pemberantasan buta-huruf, gerakan memasalkan gotong-royong, gerakan mendisiplikan dan mengefisienkan perusahaan dan jawatan negara, gerakan pembangunan rohani melalalui kegiatan keagamaan, dan penguatan kewaspadaan nasional.

Yang menarik, semisal dalam gerakan hidup sederhana, yang ditekankan bukan hanya soal gaya hidup sederhana dan hidup hemat, tetapi juga upaya menghentikan impor barang-barang kebutuhan hidup dari luar negeri, penghargaan terhadap produksi nasional, dan membangkitkan kesadaran berproduksi. Soekarno sadar, gerakan hidup sederhana akan percuma jika nafsu belanja/konsumtifisme tidak terkendali. Apalagi, jika nafsu belanja itu adalah belanja barang impor.

Begitu juga dengan gerakan kebersihan/kesehatan. Di sini tidak hanya ajakan menjaga kebersihan, tetapi gerakan memasalkan olahraga sebagai jalan membangun kesehatan jasmani.

Juga dalam gerakan pemberantasan buta-huruf. Saat itu pemerintah sangat sadar, bahwa baca-tulis adalah penting untuk peningkatan taraf kebudayaan rakyat. Karena itu, pemerintah menggalang mobilisasi rakyat untuk mensukseskan gerakan ini.

Memang, seperti diakui Bung Karno, revolusi mental bukanlah pekerjaan satu-dua hari, melainkan sebuah proyek nasional jangka panjang dan terus-menerus. “Memperbaharui mentalitet suatu bangsa tidak akan selesai dalam satu hari,” ujarnya. Dia juga bilang, memperbaharui mentalitas suatu bangsa tidak seperti orang ganti baju; dilakukan sekali dan langsung tuntas.

Apabila kita melihat sejarah, para founding fathers memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan tujuan umum adalah mengubah sistem feodalistik dan sistem kolonialis menjadi sistem modern dan sistem demokrasi. )

Kemerdekaan menurut Bung Karno adalah “jembatan emas” menuju cita-cita demokrasi, sedangkan pembentukan “nation and character building” dilakukan di dalam prosesnya. Kalau pada suatu saat Bung Karno menyatakan bahwa, “revolusi belum selesai,” maka dalam konteks “nation and character building,” pernyataan demikian dapat dimengerti.

Artinya, baik “nation” maupun “character” yang dikehendaki sebagai bangsa merdeka belum mencapai standar yang dibutuhkan. Maka dalam hubungan “nation and character building” seperti yang diuraikan di atas, beberapa hal berikut terkandung di dalam gagasan awalnya:

• Pertama, Kemandirian (self-reliance), atau menurut istilah Presiden Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Dalam konteks aktual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam percaya akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan Republik Indonesia dalam mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya.

• Kedua, Demokrasi (democracy), atau kedaulatan rakyat sebagai ganti sistem kolonialis. Masyarakat demokratis yang ingin dicapai adalah sebagai pengganti dari masyarakat warisan yang feodalistik. Masyarakat di mana setiap anggota ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan kepentingannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.

• Ketiga, Persatuan Nasional (national unity). Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini.

• Keempat, Martabat Internasional (bargaining positions). Indonesia tidak perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di dunia internasional. Sikap menentang hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasari ide dasar “nation and character building.”

Bung Karno menentang segala bentuk “penghisapan suatu bangsa terhadap bangsa lain,” serta menentang segala bentuk “neokolonialisme” dan “neoimperialisme.” Indonesia harus berani mengatakan “tidak” terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak sesuai dengan “kepentingan nasional” dan “rasa keadilan” sebagai bangsa merdeka.

. Kelima, ada tiga hal pokok yang mesti dipersiapkan sebuah bangsa yang akan membangun yaitu investasi keterampilan manusia (human skill investment), investasi material (material investment), dan investasi mental (mental investment). (AH)

Ikuti MONITORNusantara.com di Google News

Sempatkan juga membaca artikel menarik lainnya, di portal berita EDITOR.id dan MediaSosialita.com