Jakarta, EDITOR.ID,- Pakar hukum dan pembangunan dari Universitas Airlangga Hardjuno Wiwoho mengatakan uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), bisa menjadi momentum untuk membuka kembali tabir gelap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Selain itu uji materi ini membuka kotak pandora keseluruhan proses penanganan BLBI secara transparan dan objektif.

Perpu Nomor 49 Tahun 1960 selama ini kerap dijadikan pijakan hukum oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan (Kemenku) dalam proses penyitaan aset para obligor dana BLBI.

Baru-baru ini, Andri, yang juga pemegang Saham Bank Centris Internasional, mengajukan uji materi terhadap Perpu itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Hardjuno Wiwoho berharap dari uji materi yang diajukan pengusaha sekaligus bankir pemilik Bank Centris Internasional Andri Tedjadharma itu, dapat membuka tabir gelap BLBI.

Dia menilai kasus BLBI terlalu lama diselimuti oleh kabut ketertutupan, padahal menyangkut kredibilitas institusi Negara dalam menangani krisis keuangan.

Maka dari itu, yang jauh lebih penting, menurut Hardjuno bagaimana sidang uji materi ini bisa menjadikan sebagai pintu masuk untuk menelaah secara menyeluruh bagaimana negara dulu menangani BLBI, baik dari sisi kebijakan, pelaksanaan, maupun penegakan hukumnya.

“Kita jangan buru-buru memposisikan perkara ini semata sebagai soal individu. Yang jauh lebih penting adalah menjadikan sidang ini sebagai pintu masuk untuk menelaah secara menyeluruh bagaimana negara dulu menangani BLBI—baik dari sisi kebijakan, pelaksanaan, maupun penegakan hukumnya,” ujar Hardjuno dalam keterangan tertulis, Minggu (8/6/2025) pagi.

Hardjuno memaparkan bahwa berbagai fakta yang muncul pada persidangan dalam uji materi Perpu PUPN termasuk temuan audit dan dugaan kekeliruan penyaluran dana harus dilihat secara serius dan diuji secara objektif.

Sehingga menurut Herdjuno, Negara harus mau mengoreksi apabila ada prosedur yang tidak dijalankan secara benar atau terdapat kekeliruan dalam penetapan tanggung jawab.

“Jika memang ada prosedur yang tidak dijalankan secara benar, atau terdapat kekeliruan dalam penetapan tanggung jawab, maka negara harus mau mengoreksi. Tapi semua itu mesti dibuka melalui mekanisme hukum yang sahih, dan dilakukan secara menyeluruh, bukan sepotong-sepotong,” tegasnya.

Hardjuno menambahkan bahwa Perpu PUPN sendiri memang berasal dari masa yang berbeda dan patut dikaji ulang relevansinya dalam konteks hukum tata negara dan hak asasi manusia saat ini.

Namun demikian, ia menekankan bahwa perubahan hukum tidak boleh didasarkan pada tekanan kasus per kasus, melainkan melalui evaluasi sistemik.

“Perkara ini bukan sekadar gugatan perorangan. Ia menyentuh soal tata kelola negara, integritas hukum, dan bagaimana kita memahami keadilan dalam konteks kebijakan ekonomi negara. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi perlu membuka ruang seluas-luasnya untuk mengungkap fakta, bukan hanya menilai formalitas,” pungkasnya.

PUPN Kriminalisasi Orang Yang Tak Bersalah dan Tak Punya Hutan Negara

Sementara itu Andri Tedjadharma selaku pemohon uji materi berpendapat bahwa telah terjadi kriminalisasi atau tindakan koersif oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), yang secara sepihak menetapkan Andri sebagai penanggung utang atas piutang negara.

Sidang permohonan tersebut tengah berlangsung di MK dan menyita perhatian majelis hakim.

Beberapa hakim mempertanyakan alasan peraturan yang sudah berusia lebih dari 60 tahun itu masih dijadikan dasar hukum, padahal tidak lagi sejalan dengan berbagai undang-undang yang berlaku dalam sistem hukum modern Indonesia.

Sebelumnya dalam sidang mendengar keterangan pemerintah di MK, Jakarta, Rabu (30/4), Pemerintah, yang diwakili oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Rionald Silaban menyampaikan tanggapan terhadap permohonan uji materi yang diajukan oleh Pemohon terkait ketentuan Pasal 8, Pasal 9 ayat (1) dan (2), serta Pasal 11 huruf f Perpu PUPN.

Pemerintah menegaskan bahwa Perpu tersebut bertujuan untuk melindungi keuangan negara dan menyatakan keberatan atas berbagai dalil yang disampaikan Pemohon dan menilai Pemohon tidak memahami maksud dan tujuan Perpu PUPN, khususnya dalam konteks perlindungan keuangan negara.

“Pemerintah sangat keberatan dengan pendapat Pemohon karena tidak memahami Pasal 8 UU PUPN yang dirancang untuk menegakkan hukum terhadap debitur nakal dan bukan bertentangan dengan prinsip keadilan,” ujar Rionald.

Atas seluruh dalil yang disampaikan Pemohon, Pemerintah menilai permohonan tersebut tidak beralasan menurut hukum dan meminta MK untuk menolak seluruhnya.

Pemerintah juga menegaskan bahwa Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 11 Perpu PUPN tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. (tim)

Ikuti MONITORNusantara.com di Google News

Sempatkan juga membaca artikel menarik lainnya, di portal berita EDITOR.id dan MediaSosialita.com