Jakarta, MONITORNUSANTARA.COM,- Bos Bank Centris Internasional Andri Tedjadharma mencari keadilan. Bank Centris yang dilahirkannya dituding menggunakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hartanya disita Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI). Padahal ia tidak menerima sepeserpun dana BLBI tersebut. Bahkan rekening Banknya di BI direkayasa jadi dua rekening.
Meski selalu menang di Pengadilan bahwa banknya bukan bank penerima BLBI, harta Andri tetap disita dan terancam akan dilelang oleh Satgas BLBI dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kementrian Keuangan.
Satgas BLBI menggunakan surat paksa untuk menyita aset Andri berdasarkan Nomor 216. Namun surat tersebut telah dibatalkan dan dicabut oleh PTUN dan Pengadilan Tinggi TUN, dan salinan Keputusan Mahkamah Agung (MA).
“MA memberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tidak berlaku surut karena adanya PP 28 adalah tahun 2022 sedang Keputusan MA jika dianggap benar pun terbit pada tahun 2006 dan paksa bayar Nomor 216 tahun 2021,” katanya.
Kasus Bank Centris Internasional adalah cermin dari kompleksitas dan kebingungan hukum di Indonesia. Meski bukti-bukti kuat telah diajukan dan keputusan pengadilan telah memenangkan pihak Bank Centris Internasional, ketidakpastian hukum tetap menghantui.
Oknum otoritas keuangan juga disebut-sebut telah membuat rekening rekayasa untuk menampung dana. Rekening Bank Centris beda nomor dan beda nama. Rekening yang asli Bank Centris Internasional Nomor 523.551.0016. Sedangkan yang nomor Rekayasa Centris Internasional Bank dengan nomor 523.551.000
“Jadi ini dua entitas yang sungguh berbeda, shg waktu BI membuat perjanjian dengan BPPN isinya adalah Centris Internasional Bank (CIB) bukan Bank Centris Internasional (BCI),” ujar Andri.
“Yang asli adalah BCI atau Bank Centris Internasional,” imbuhnya.
Identik tapi bukan asli. Sehingga, akte 39 yang merupakan perjanjian pengalihan hak tagih Bank Centris Internasional dari Bank Indonesia ke BPPN, menjadi dasar pemerintah menagih Bank Centris Internasional maupun penyitaan harta pribadi Andri Tedjadharma, menjadi salah alamat.
Pemerintah seharusnya menagih dan menyita harta pemilik rekening rekayasa atau rekening (individual) yang mengatasnamakan Bank Centris Internasional yang ada di BI.
Andri Tedjadharma, pemegang saham utama, telah menyaksikan banknya selama rentang waktu 26 tahun telah menjadi pusat dari serangkaian keputusan hukum yang saling bertentangan, dan dia merasa Bank Centris Internasional telah menjadi korban manipulasi sistematis dan penggelapan besar-besaran.
Awal Mula Kejadian
Pada tanggal 9 Januari 1998, Bank Indonesia menandatangani perjanjian jual beli promes dengan Bank Centris Internasional melalui Akta No. 46. Namun, meski terdapat janji untuk memindahkan sejumlah besar dana ke rekening Bank Centris Internasional, dana tersebut tidak pernah sampai.
Sebaliknya, dana itu dialihkan ke rekening lain yang tidak diketahui oleh Bank Centris Internasional, mengindikasikan adanya praktek “bank dalam bank” di tubuh Bank Indonesia.
Dua Keputusan, Satu Kasus
Keputusan Pengadilan yang menyatakan bahwa Bank Centris Internasional tidak bertanggung jawab atas utang BLBI seharusnya menjadi titik terang. Namun, di sisi lain, PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) tetap menagih utang tersebut, mengacu pada Akta No. 39 yang dibuat oleh Bank Indonesia dan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Situasi ini menciptakan ketidakpastian hukum yang membingungkan, di mana dua lembaga pemerintah mengeluarkan dua keputusan berbeda untuk kasus yang sama.
Manipulasi yang Sistematis
Kasus ini menjadi lebih kompleks dengan bukti bahwa dana yang seharusnya dipindahkan ke rekening Bank Centris Internasional, justru dialihkan ke rekening lain yang tidak dikenal. Ini mengindikasikan adanya perbuatan penipuan yang sangat canggih dan terencana. Bukti ini diperkuat dengan kesaksian dari pengadilan dan audit BPK yang menunjukkan bahwa dana tersebut tidak pernah sampai ke Bank Centris Internasional.
Serangkaian Kemenangan Pengadilan
Meski menghadapi tekanan besar, Bank Centris Internasional dan Andri Tedjadharma telah beberapa kali memenangkan persidangan. Beberapa keputusan penting meliputi:
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan: Putusan No. 350/Pdt.G/2000/PN.JKT.SEL mengonfirmasi bahwa dana sebesar Rp. 490.787.748.596,16.- tidak pernah dipindahbukukan ke rekening Bank Centris Internasional yang sah, melainkan diselewengkan.
Pengadilan Tinggi: Putusan yang mendukung hasil pengadilan negeri, memperkuat posisi Bank Centris Internasional dalam sengketa ini.
Mahkamah Agung: Pada 2 November 2022, Mahkamah Agung mengeluarkan salinan keputusan yang amar putusannya memenangkan Bank Centris Internasional dengan menyatakan akte 46 dan 47 adalah sah dan berharga. Ditambah lagi, belakangan diketahui, Mahkamah Agung mengonfirmasi tidak pernah menerima berkas permohonan kasasi BPPN melawan Bank Centris Internasional.
Lebih lanjut, dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), Bank Centris Internasional juga memenangkan putusan penting:
- PTUN Jakarta: Putusan No. 428/G/2022/PTUN.JKT membatalkan SK No. 49 tentang penetapan hutang dan surat paksa bayar No. 216/PUPNC.10.00/2021.
- PT TUN Jakarta: Putusan No. 202/B/2023/PT.TUN.JKT menguatkan putusan PTUN Jakarta, memerintahkan pencabutan SK No. 49 dan surat paksa bayar terkait.
Kontradiksi Hukum
Meski pengadilan telah beberapa kali memenangkan Bank Centris Internasional, pemerintah melalui PUPN dan KPKNL tetap menagih utang tersebut. Ini sangat ironis. Apalagi, Mahkamah Agung sendiri juga telah menyatakan tidak pernah menerima permohonan kasasi dari BPPN. Dengan demikian, berbagai tindakan penagihan dan penyitaan yang dilakukan oleh PUPN dan KPKNL menjadi tidak berdasar dan melawan hukum.
Perjuangan Andri Tedjadharma
Sebagai pemegang saham, Andri Tedjadharma terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Dia menegaskan bahwa Bank Centris Internasional tidak pernah menerima satu rupiah pun dari dana BLBI yang dituduhkan.
Andri mengatakan pembekuan banknya dilakukan secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Andri merasa bahwa dirinya dan banknya telah dizolimi oleh tindakan sewenang-wenang pemerintah selama lebih dari dua dekade.
Kisah ini bukan hanya tentang sebuah bank dan pemegang sahamnya, tetapi juga tentang bagaimana sistem hukum dan kekuasaan disalahgunakan menjadi alat manipulasi dan ketidakadilan. Dalam upaya mendapatkan keadilan, Andri Tedjadharma berharap bahwa Presiden dan masyarakat luas akan memperhatikan keadilan yang selama ini terabaikan. (*)