MONITORNUSANTARA.COM – Industri film Indonesia tengah merayakan era keemasan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan rekor penonton dan kolaborasi global yang semakin kokoh. Namun, di balik euforia tersebut, sebuah perang besar tengah berkecamuk melawan sindikat pembajakan digital yang mengancam keberlanjutan industri. Dalam acara “Indonesia’s Success Story” yang diadakan di Residence 7 Park Hyatt Hotel, para pemimpin industri, kreator, dan pemerintah berkumpul untuk membedah dua sisi mata uang ini: sebuah perayaan kesuksesan dan deklarasi perang terhadap musuh bersama.

Ledakan Kreativitas dan Dominasi Pasar Lokal

Data yang dipaparkan menunjukkan pencapaian luar biasa: pada tahun 2024, jumlah penonton bioskop Indonesia menembus 126 juta, dengan film lokal mendominasi 65% pangsa pasar—angka tertinggi dalam sejarah. Kebangkitan ini didorong oleh keberanian para sineas untuk merambah genre-genre baru dan beragam.

Fenomena film animasi Jumbo, yang kini menjadi film Indonesia dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa melampaui KKN di Desa Penari, menjadi simbol utama. Angga Dwimas Sasongko, Produser Jumbo, mengungkapkan bahwa kesuksesan ini membuktikan bahwa penonton Indonesia siap menerima hal baru yang berkualitas tinggi. “Jumbo menjadi katalis yang menunjukkan bahwa kita semua… bisa membayangkan masa depan yang lebih besar,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa proyek ini melibatkan lebih dari 400 kreator dari seluruh Indonesia dan telah didistribusikan ke lebih dari 30 negara.

Keberagaman genre menjadi kunci. Selain animasi, genre aksi unjuk gigi melalui The Shadow Strays yang berhasil menembus Top 10 Netflix di 85 negara. Di sisi lain, Mira Lesmana berani bereksperimen dengan genre musikal lewat Rangga & Cinta , sementara Linda Gozali melanjutkan kesuksesan horor religi dengan Qodrat 2. Linda mengakui bahwa film Perempuan Tanah Jahanam menjadi tonggak yang mengangkat nilai produksi film horor Indonesia, yang kemudian menginspirasi lahirnya Qodrat.

Kunci dari keberhasilan ini, menurut para panelis, adalah kolaborasi global dan otentisitas cerita lokal. Wicki Olindo, produser The Shadow Strays, menyatakan bahwa kemitraan dengan Netflix memungkinkan sineas untuk “bermimpi lebih besar”. Ruben Hattari dari Netflix mengamini hal ini dengan prinsip utama mereka: “Kalau kamu mencoba menyenangkan semua orang, kamu justru tidak akan menyenangkan siapa pun. Justru keunikan lokal itu penting”.

Sisi Gelap: Ancaman Nyata Sindikat Kriminal

Di tengah perayaan, Panel 2 membuka diskusi serius mengenai ancaman yang dapat meruntuhkan industri. Pembajakan digital, yang merugikan industri hingga 29 miliar dolar secara global, bukan lagi sekadar pelanggaran hak cipta, melainkan kejahatan terorganisir.

Gina Golda Pangaila dari Vidio memberikan perspektif yang mengkhawatirkan. “Pembajakan tidak pernah berdiri sendiri sebagai kejahatan tunggal,” katanya. “Khusus di Indonesia, pembajakan sangat sering berkaitan dengan judi online dan pelanggaran kekayaan intelektual, bahkan praktik perdagangan manusia… Jadi, pembajakan hanyalah ‘wajah depan’ dari masalah yang jauh lebih besar”.

Para pembajak kini semakin canggih, beralih dari situs web ke aplikasi bajakan seperti LokLok dan menggunakan taktik domain hopping untuk situs seperti LK21 agar sulit diblokir.

Menghadapi hal ini, sebuah aliansi kuat terbentuk. Organisasi global seperti Alliance for Creativity and Entertainment (ACE) dan Motion Picture Association (MPA) bekerja sama dengan pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan penegak hukum internasional seperti Homeland Security Investigations (HSI) dari AS. Sunarwaty Panggabean dari DJKI menegaskan, “DGIP sebagai institusi pemerintah tidak bisa bekerja sendirian”. Kemitraan ini bertujuan menciptakan efek jera yang nyata, termasuk kemungkinan hukuman penjara bagi para pelaku.

Menabur Benih untuk Masa Depan Cerita

Di tengah upaya melindungi karya yang sudah ada, industri juga aktif berinvestasi pada talenta masa depan. Segmen khusus dalam acara ini memperkenalkan MPA APSA Academy Film Fund, sebuah dana hibah yang berfokus pada pengembangan naskah film panjang.

Sejak didirikan pada tahun 2010, dana ini telah memberikan hibah sebesar $25.000 AS kepada 60 proyek film dari 27 negara, termasuk film-film Indonesia yang sukses seperti YUNI dan Memories of My Body.

Produser Yulia Evina Bhara, yang menerima dana ini untuk proyeknya Watch It Burn, menjelaskan betapa krusialnya dukungan di tahap awal. “Membangun proyek dalam fase pengembangan itu memang mahal sekali… dana ini sangat membantu kami,” ungkapnya. Lebih dari itu, menurutnya, dana hibah ini “bisa menjadi cap kepercayaan bagi proyek kami” karena sifatnya yang sangat kompetitif dan diseleksi oleh komite yang bereputasi.

Pada akhirnya, acara ini menyisakan sebuah kesimpulan kuat: sinema Indonesia berada di jalur yang tepat menuju panggung dunia, namun perjalanan ini memerlukan perlindungan yang ketat. Optimisme atas rekor dan pencapaian harus diimbangi dengan kewaspadaan dan kerja sama solid untuk memastikan era keemasan ini tidak hanya sesaat, melainkan menjadi fondasi yang kokoh untuk generasi pencerita di masa depan.

Ikuti MONITORNusantara.com di Google News

Sempatkan juga membaca artikel menarik lainnya, di portal berita EDITOR.id dan MediaSosialita.com