Oleh: Djono W. Oesman
Hakim pria inisial BPT di PN Lahat, Sumatera Selatan merekam video hakim wanita di PN yang sama, saat mandi. Dihukum ringan Mahkamah Agung. Lalu, Anggota Komisi III DPR, Habiburokhman protes: “Tidak ada keadilan.”
Perekaman Bu Hakim mandi ini tak terberitakan pers. Diperkirakan terjadi Maret 2022. BPT menempatkan alat perekam video di kamar mandi. Saat Bu Hakim mandi (pastinya telanjang) terekam video.
Kejadian ini baru diberitakan pers, setelah muncul website Mahkamah Agung (MA) yang menerbitkan sanksi buat BPT, pada Selasa, 26 April 2022.
Di website tersebut, MA, selaku lembaga pengawas sekaligus pembina para hakim, menjatuhkan sanksi tingkat sedang kepada BPT, periode Maret 2022.
Inti sanksi: Penundaan kenaikan gaji berkala selama setahun, sejak putusan. Berarti, BPT tidak naik gaji selama kurun Maret 2022 sampai Maret 2023. Setelah batas itu, boleh naik gaji berkala.
MA menyatakan, perbuatan BPT bersalah melanggar kode etik hakim. Tertuang di SKB Ketua MA-Ketua KY (Komisi Yudisial) huruf C butir 1. Penerapan Umum 1.1.4. Huruf C butir 5 Penerapan umum 5.1.3.
“Jo PB MARI dan KY Pasal 5 ayat 3 huruf a dan Pasal 9 ayat 4 huruf b jo Pasal 18 ayat 2 huruf a dan e,” bunyi putusan.
Pelaku tidak dipindah tempat tugas, agar Bu Hakim tidak malu. Tidak. Pelaku dan korban sampai putusan tersebut dijatuhkan, tetap masih sama-sama berdinas di PN Lahat.
Ini mengusik rasa keadilan orang yang mendengarnya. Anggota DPR, Habiburokhman kepada pers, Selasa (26/4) mengatakan:
“Kita prihatin sekali. Ini seperti tidak ada empati pihak MA kepada korban. Dan tidak ada keberpihakan terhadap kaum perempuan.”
Dilanjut: “Seharusnya bukan hanya dipecat tapi juga dijerat pidana Pasal 4 juncto Pasal 29 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Apalagi pelakunya hakim, yang mestinya jadi panutan masyarakat.”
Dilanjut: “Kita akan pantau terus, saya dorong korban untuk membuat laporan polisi. Kami minta polisi juga proaktiif, jangan takut karena ini delik pidana dan keadilan berlaku sama untuk semua orang.”
Keadilan yang setara di bawah hukum (Equal justice under law) bukan hanya jadi perdebatan di Indonesia. Hukum adalah masalah universal. Masalah semua manusia.
Bahkan, tulisan “Equal Justice Under Law” terpahat di bagian atas pintu gerbang Gedung Mahkamah Agung Amerika Serikat di Washington DC. Sejak 1932 sampai sekarang.
Tapi, tetap saja, keadilan tidak bisa setara bagi semua orang. Pemilik harta kekayaan dan power, selalu mendapatkan privilige. Sedangkan, si miskin dan lemah terkontrol ketat oleh hukum.
Peccarelli, Anthony (1928 – 2005) dalam bukunya “The Meaning of Justice” (Maret 2000) menyatakan, kata “Equal Justice Under Law” mewarisi ungkapan sebelumnya, yang diciptakan tahun 1891 oleh Mahkamah Agung AS. Atau sebelum tulisan itu terpahat di dinding Gedung MA AS, 1932.
Anthony Peccarelli lulusan John Marshall Law School, AS, 1959. Ia hakim terkenal di sana pada zamannya. Karena putusan adilnya pada berbagai kasus besar di Amerika.
Dikutip dari buku Hakim Anthony tersebut, pun kalimat sakral yang terpahat di Gedung MA AS itu sempat diperdebatkan. Pada saat awal dipasang di sana, dulu.
Dikisahkan, kalimat tersebut diusulkan oleh arsitek bangunan tersebut, Cass Gilbert. Kemudian disetujui oleh dua hakim di sana pada tahun 1932. Yakni, Hakim Charles Evans Hughes dan Hakim Willis Van Devanter.
Tahun 1935 (tiga tahun setelah kalimat itu terpasang) jurnalis bernama Herbert Bayard Swope keberatan dengan persetujuan Hakim Hughes atas pencantuman kalimat tersebut.
Jurnalis Swope berpendapat, bahwa tidak perlu kata ‘equal’ di kalimat tersebut. Maksudnya, langsung saja “Justice under Law”. Sebab, menurutnya, kata ‘justice’ sudah berarti equal.
Dengan adanya kata ‘equal’, justru berlebihan. Atau terjadi pemborosan kata. Sehingga bisa menimbulkan pembiasan makna.
Karena jurnalis Swope punya ‘power’ dengan memuat berita tentang itu di media massa. Menggoreng opini publik. Maka, kehebohan berlarut-larut. Berlangsung beberapa waktu. Hanya untuk menentukan dipakai atau tidaknya kata ‘equal’.
Akhirnya, kata ‘equal’ dipakai di Gedung Mahkamah Agung Amerika sampai sekarang. Pendapat Jurnalis Swope, kalah oleh pendapat mayoritas warga Amerika saat itu.
Perdebatan pada sembilan puluh tahun lalu di Amerika itu, sesungguhnya tidak berarti apa-apa bagi penegakan hukum. Di mana saja. Jika, esensi kata tersebut tidak diterapkan dalam kehidupan nyata.
Buktinya, Anggota Komisi III DPR RI (membidangi hukum) Habiburokhman masih sewot. Protes soal ketidak-setaraan dalam penerapan hukum menuju keadilan bagi semua orang. Kita simak, bagaimana kelanjutan protesnya. (*)