Ketua Kamar TUN MA: Aset Bermasalah dari Pengutang BLBI Bisa Jadi Kasus Pidana

MSAA menjadi acuan yang menetapkan bahwa semua aset yang diserahkan ke negara harus bersih dan jelas statusnya, tidak boleh ada masalah atau kendala yang menghalangi proses tersebut.

Ketua Kamar TUN MA: Aset Bermasalah dari Pengutang BLBI Bisa Jadi Kasus Pidana
Ketua Kamar Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung (MA) Yulius

Jakarta, MONITORNUSANTARA.COM,- Pengemplang utang atau obligor nakal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang menyerahkan aset bermasalah atau tidak free and clean bisa dikategorikan tindak pidana.

Hal ini disampaikan Ketua Kamar Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung (MA) Yulius saat menjadi pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) Implementasi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Dalam Pelaksanaan Wewenang Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Hilton Bandung, Rabu (26/7/2023).

Dalam FGD ini juga menghadirkan narasumber dari Dirjen Kekayaan Negara dan dari Kejaksaan Agung.

“Adalah betul tindakan pidana bagi para obligor BLBI yang menyerahkan aset-asetnya ke negara dengan terbukti aset tersebut tidak clear and clean atau free masalah,” ujar Yulius dalam paparannya.

Akibat obligor nakal itu menyerahkan aset bermasalah sangat merugikan negara. Pasalnya aset bermasalah tersebut tidak bisa dijual. “Dan aset tersebut tidak mendapatkan uang pengganti kerugian negara,” katanya.

Seharusnya sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian dengan skema Master Settlement And Acquitition Agreement (MSAA), para oblogor BLBI wajib menyerahkan aset ke negara dalam keadaan free and clear. “Dalam artian bebas dari utang piutang maupun bebas dari persoalan sengketa hukum,” kata Yulius.

Karena pembayaran utang dari pengemplang BLBI ini sangat penting dan menjadi kejelasan aset dalam MSAA untuk mendukung pemulihan keuangan negara.

Seminar ini bertujuan untuk menyampaikan beberapa hal penting terkait pembayaran utang oleh pengemplang BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) serta kejelasan aset dalam MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) guna memperkuat pemulihan keuangan negara.

Pada seminar ini, ditegaskan bahwa siapapun yang terlibat dalam pengemplangan BLBI wajib membayar utangnya kepada negara.

MSAA menjadi acuan yang menetapkan bahwa semua aset yang diserahkan ke negara harus bersih dan jelas statusnya, tidak boleh ada masalah atau kendala yang menghalangi proses tersebut.

Julius menekankan bahwa jika aset yang diserahkan kepada negara tidak memenuhi kriteria “clear and clean”, maka tindakan itu dapat dianggap sebagai pembohongan terhadap negara. Para obligor yang terlibat dalam MSAA bertanggung jawab untuk memastikan bahwa aset yang diserahkan memang bersih dan tidak bermasalah.

Pemenuhan kriteria “clear and clean” dalam MSAA sangat penting, karena ini memastikan bahwa negara mendapatkan aset yang bersih dan dapat dijual untuk mengganti kerugian negara akibat kasus BLBI.

Dengan adanya keterbukaan dan kejelasan mengenai aset yang diserahkan, pemulihan keuangan negara dapat berjalan lebih efektif dan transparan.

Seminar ini diharapkan menjadi langkah maju dalam menangani masalah utang BLBI dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya kepatuhan terhadap ketentuan MSAA.

Negara berharap dengan komitmen bersama, masalah BLBI dapat diselesaikan secara adil dan transparan, sehingga stabilitas keuangan dapat diperkuat untuk masa depan yang lebih cerah.

Sebagaimana diketahui obligor nakal saat menyerahkan aset bermasalah menambah beban masalah bagi negara. Mereka sepertinya patuh, namun tindakannya culas karena seolah-olah berniat melunasi utangnya dengan aset, tapi aset yang diserahkan bermasalah.

Ada yang sudah menjanjikan penyerahan barang dan aset, tetapi sudah dijaminkan. Diantaranya contohnya aset-aset bermasalah itu dijadikan jaminan utang, meskipun beberapa aset bisa diselesaikan dengan bantuan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Sedangkan sebagian aset bermasalah juga ada yang tidak bisa diselesaikan. Bagian itu dinilai sebagai upaya penipuan. Ulah para obligor dan debitor itu sebagai bentuk kejahatan karena barang yang sudah jadi milik negara, mereka jaminkan.

Pakar Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf beberapa waktu silam pernah menyatakan, ulah para obligor dan debitor itu sebagai bentuk kejahatan karena barang yang sudah jadi milik negara, mereka jaminkan.

“Ini lebih jahat lagi. Barang yang sudah ia serahkan, dia jaminkan lagi ke orang lain sehingga membuat negara bersengketa dengan pihak lain,” kata Maruf. (tim)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *