Oleh: Refi Achmad Zuhair
Penulis Adalah Mahasiswa Fisip Universitas Airlangga Surabaya
Berbicara mengenai korupsi, sepintas kita akan terlintas pikiran mengenai kejahatan yang telah terstruktur ataupun menjadi extra ordinary crime. Lalu mengapa kita terlintas pikiran seperti itu?
Pastinya semua akan menjawab koruspi adalah sebuah hal yang seakan sudah menjadi hal yang lumrah dan tidak terkendali di Indonesia.
Sudah tidak terhitung berapa banyak kasus yang selalu muncul setiap tahun. Setiap tahun indeks korupsi di Indonesia terus meningkat. Mengapa tidak, Indonesia memiliki sebuah lembaga khusus yang menjadi lembaga anti rasuah terhadap penanganan kasus korupsi yang ada di Indonesia, yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Bagaimana pula masyarakat menilai manuver ataupun eksplorasi dari kinerja kelembagaan KPK dalam penanganan kasus korupsi ini.
Menurut artikel yang diterbitkan pada laman resmi www.kpk.go.id tanggal 2 Mei 2019, selama ini dalam mengevaluasi tingkat korupsi di Indonesia, pemerintah mengacu pada hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dilansir Transparency International.
Namun, kita sendiri tidak tahu menahu dalam perumusan survey hingga siapa saja yang menjadi responden dalam kuesioner survey tersebut. Meski akhirnya dalam perspektif saya Indeks Persepsi Korupsi tidak mampu dijadikan satu-satunya landasan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Meski dalam hasilnya angka IPK cenderung mengalami angka peningkatan dalam pemberantasan korupsi belum tentu tingkat kasus korupsi yang ada di Indonesia juga mengalami hasil yang landai, dalam julmah penurunan kasus maupun kerugian yang di jumlahkan.
Komisi Pemberantasan Korupsi seyogyanya merupakan institusi yang mampu menjadi harapan bagi rakyat Indonesia.
Disaat para pengampu kekuasaan dan pejabat publik begitu limbung dan sewenang-wenang dengan kepentingan yang bukan untuk menyukseskan pembangunan negara. Lalu dimana letak kepastian hukum yang seharusnya didapatkan?
Dan pula ketika kerja keras KPK tidak mampu diimbangi oleh aparat penegak hukum yang lain (seperti Polri, Hakim, Jaksa, hingga Pemerintah) maka kita harus merefleksikan diri keadilan hanyalah isapan jempol semata.
Dalam penerapan pelaksanaan kebijakan pemberantasan korupsi setiap negara yang diteliti lembaga anti korupsi menerapkan pendekatan atau cara yang berbeda ada yang mengedepankan tindakan represif, ada pula yang menggunakan secara bersamaan represif dan prefentif, dan sebagian diantaranya mengedepankan prefentif.
Meskipun dalam penerapannya masih terdapat tumpang tindih atau perlakuan tidak mengenakkan yang didapat oleh aparat penegak hukum ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tentunya pada negara kita, Indonesia yang hampir penduduknya kurang lebih sebanyak 270 juta jiwa tentu lebih kompleks dalam penanganannya.
Sektor pemerintahan mulai dari desentralisasi hingga pemerintahan sentralisasi menjadi suatu ujian bagi KPK maupun aparat penegak hukum untuk memberikan langkah pencegahan hingga penindakan.
Namun, bukan tidak mungkin Indonesia mampu untuk belajar dengan negara lain, seperti Singapura dan Hongkong. Mengapa?
Karena yang terjadi pada dua negara tersebut memiliki strategi terkhusus dalam setiap penanganan kasusnya, dimulai dari strategi yang melibatkan kebijakan berbagai stakeholder penegakan hukum yang telah berjalan sesuai alur.
Dibentuknya lembaga anti korupsi merupakan wujud checks and balance atas kinerja lembaga penegakan hukum yang ada, sekaligus sebagai trigger mechanism untuk memicu kinerja lembaga penegakan hukum.
Fungsi koordinasi dan pembagian wewenang antara lembaga penegakan hukum yang ada dan komisi anti korupsi menjadi amat penting bagi terciptanya pemberantasan korupsi di berbagai negara yang telah sadar akibat dari kejahatan extra ordinary ini.
Penetapan wewenang bagi lembaga KAK yang ada di negara lain pada umumnya didasarkan pada faktor komitmen pemerintah (kepala negara dan dukungan parlemen), penilaian dan terciptanya kepercayaan publik terhadap kinerja lembaga penegakan hukum yang ada, serta parahnya tingkat korupsi di suatu negara.
Masalah anggaran merupakan salah satu masalah pelik yang dialami oleh banyak lembaga anti korupsi di negara berkembang.
Banyaknya masalah sosial ekonomi seperti jumlah hutang yang membengkak, bencana alam dan penyakit menular menyebabkan banyak negara memberikan proporsi anggaran yang kecil bagi komisi anti korupsi yang baru berdiri tersebut.
Namun, tidak lain seperti yang terjadi pada Indonesia. Diberitakan oleh Liputan6.com, disebutkan bahwa Kementrian Keuangan meningkatkan anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditengah merebaknya protes revisi undang-undang yang dilakukan oleh masyarakat.
Pada tahun 2019 lalu anggaran KPK sebesar Rp 813,5 miliar, per tahun ini 2020 anggaran telah ditingkatkan sebesar 13 persen menjadi Rp 922,6 miliar.
Artinya, semua mampu mengharapkan adanya peningkatan pula terhadap kinerja yang dilakukan Komisi Anti Korupsi (KAK) yang ada di Indonesia ini untuk mampu menciptakan sebuah stimulus dalam pencegahan maupun penangangan kasus korupsi.
Inti daripada independensi bagi Komisi Anti Korupsi di berbagai negara di dunia adalah kemampuan KAK untuk berperilaku obyektif dalam merumuskan kebijakannya sendiri tanpa dipengaruhi kepentingan dari “luar”.
Kepentingan luar ini umumnya dipersepsikan sebagai kepentingan politis penguasa.
Independensi tidak selalu dapat diraih dengan hanya mengandalkan kerangka hukum yang menetapkan bahwa KAK dibentuk oleh Undang-Undang khusus yang memberikan wewenang independensi dengan baik.
Banyak kasus di beberapa negara yang mampu untuk sukses dan independen walaupun tetap harus bertanggung jawab terhadap presiden atau kepala pemerintahan, seperti yang terjadi di Singapura dan Hongkong.
Referensi:
https://www.kpk.go.id/
Kompasiana (2019), Prestasi KPK yang dilupakan, Korupsi gagalkan demokrasi
Direktorat Penelitian dan Pengembangan Deputi Pencegahan Komisi dan Pemberantasan Korupsi (2006), Komisi Anti Korupsi di Luar Negeri