Oleh : Edi Winarto
Penulis Adalah Praktisi Hukum
Kebijakan sejumlah Pemerintah Daerah dalam menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tataran pelaksanaan lapangan seringkali disalah artikan dengan sikap over akting aparat dalam membatasi ruang gerak masyarakat. Sehingga penulis menyimpulkan kebijakan PSBB ini menjadi kebijakan yang salah.
Salah satunya metode atau pola membatasi ruang gerak masyarakat untuk menjalankan aktivitas dalam mencari nafkah dan perekonomian. Seringkali, pembatasan tersebut dilakukan tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan toleransi bagi rakyat yang sedang membutuhkan ruang untuk mencari nafkah.
Seharusnya, kebijakan PSBB dilakukan dengan mengedukasi bagaimana pola hidup sehat, menghindari wilayah yang rentan muncul penularan Covig-19, atau membatasi diri pada komunitas. Tapi bukan menutup usaha dan ruang gerak masyarakat dalam mencari nafkah kehidupannya.
Kenapa penulis mendefinisikan kebijakan ini sebagai langkah yang salah?
Pertama, kebijakan PSBB yang membatasi ruang gerak perekonomian hanya akan menyusahkan bagi mayoritas rakyat Indonesia yang bergantung kehidupan kepada aktivitas ekonomi nyata.
Kedua, isu Pandemi Corona telah dijadikan komoditas untuk membatasi, menakut-nakuti dan membelenggu hak rakyat untuk mencari penghidupan.
Apakah memang Pandemi Corona sudah demikian mengerikan bagi bangsa kita? Apakah tidak ada jalan tengah atau sebuah kebijakan yang bijak dan cerdas. Yakni melakukan pembatasan sosial tapi tidak mengorbankan rakyat dalam menjalankan aktivitasnya.
Dalam menganalisa masalah ini penulis hanya menggunakan anak panah analisa data statistik dari jumlah 270 juta penduduk di ribuan pulau yang tersebar di seluruh Indonesia.
Jumlah ratio yang meninggal karena tertular oleh virus Corona yang sebanyak 943 orang berbanding ratio dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta jiwa atau hampir seperempat miliar. Belum lagi banyak korban virus Corona juga mempunyai riwayat penyakit yang menyebabkan kematian. Dan juga persentase pertumbuhan dan pertambahan jumlah korban Corona.
Dengan ratio penduduk Indonesia sebesar lebih dari 270 juta jiwa maka jumlah kasus positif Corona di Indonesia yang hingga 10 Mei 2020 mencapai 13.112 kasus dimana 2.494 pasien sembuh dan 943 meninggal. Jika dihitung berdasarkan angka statistik menurut hemat penulis, data ini menggambarkan bahwa pandemi virus Corona di Indonesia masih dalam tahap bisa dihindari.
Bandingkan dengan negara maju di Eropa seperti Jerman, Italia, Perancis, Inggris yang jumlah penduduknya lebih kecil ketimbang Indonesia. Hingga 7 Mei 2020 di Amerika Serikat virus ini sudah membunuh 75.559 orang atau 23,10 persen dari 1.254.726 penduduk yang tertular.
Di Inggris jumlah meninggal mencapai 30.615 orang atau 45,60 persen dari warga yang positif corona sebanyak 206.715 orang. Di Italia yang meninggal mencapai 29.958 orang atau 49,41 persen dari 215.858 orang.
Jumlah yang meninggal di Spanyol mencapai 26.070 atau 55,83 persen 221.447 warga. Kemudian di Perancis mencapai 25.987 orang atau 39,99 persen dari 137.779 positif.
Coba bandingkan dengan angka statistik di Indonesia yang hanya 943 orang meninggal. Berapa persen jumlah yang menjadi korban virus Corona dibanding negara-negara maju yang sudah modern dalam penanganan kesehatan.
Bahwa di Indonesia angka ini sempat melambat dan mencapai ‘kurva datar’. Dalam dua pekan terakhir, hingga Minggu 10 Mei 2020, penambahan kasus positif di Jakarta bergerak di kisaran 80-100an kasus per hari. Kasus positif di Jakarta, kini sudah lebih dari 5.000 orang. Kemudian untuk pertama kalinya Jawa Barat tidak memiliki tambahan kasus baru.
Dalam beberapa hari terakhir, belasan provinsi secara kontinyu tidak mencatatkan penambahan kasus baru, alias 0 kasus. Di antara provinsi itu misalnya Bangka Belitung, Maluku Utara, serta Aceh.
Dari data ini penulis kemudian menghubungkan kebijakan/ policy pemerintah dalam menekan angka penularan virus Corona. Karena di sebagian pemerintah daerah saat ini sedang serius dan ketat memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak 10 April 2020. Total ada 4 provinsi dan 14 kabupaten/kota yang memberlakukan PSBB hingga Minggu 10 Mei 2020.
Meski sebagian besar masyarakat telah menjalankan perilaku disiplin untuk menerapkan pembatasan sosial (Social Distancing), penggunaan masker, dan dirumah saja, namun di sebagian daerah kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih dilakukan secara tidak bijak dan “cerdas”.
Pengertian “cerdas” disini penulis artikan adalah bagaimana pemikir di belakang pemerintah daerah punya strategi yang jitu dalam menekan laju penularan virus Corona. Apakah metode tertentu bisa digunakan dengan tidak mengorbankan hak rakyat untuk mencari nafkah atau menjalankan kehidupan secara ekonomi dan normal.
Untuk menelurkan kebijakan yang cerdas maka dibutuhkan kemampuan menganalisa masalah dan keadaan. Bagaimana kita mampu menelusuri bagaimana pola orang yang terinfeksi virus ini menularkan pada orang lain. Semisal, sentuhan fisik dan lokasi yang rawan penularan. Dua masalah ini harus ditelusuri dan dijadikan dasar dalam menegakkan PSBB. Jangan semua tempat dianggap sama.
Apakah warga yang berjualan di sebuah lingkungan yang steril kehadiran orang luar juga harus ditindak tegas. Kemudian bagaimana cara memotong mata rantai penularan dengan mendeteksi sejak dini potensi yang rawan penularan.
Maka harus ada solusi untuk mengambil jalan tengah. Disatu sisi, potensi penularan Covid-19 bisa dicegah namun disisi lain rakyat tidak dikorbankan secara ekonomi oleh kebijakan PSBB yang tanpa alasan cerdas.
Seharusnya menghadapi Pandemi Corona ini semua pihak sudah punya jam terbang dan pengalaman. Minimal bisa memetakan situasi yang terjadi sehingga sudah bisa memahami behavior pola dan metode virus ini menular pada antar individu.
Salah satu yang bisa dikemukakan oleh penulis adalah soal kehadiran “orang dari luar negeri”. Di sejumlah daerah penularan virus Corona juga sering terjadi dari orang yang punya riwayat pernah bepergian ke luar negeri.
Sehingga bisa saja membuat kesimpulan sementara bahwa kehadiran warga dari luar negeri ini bisa rentan dan berpotensi menjadi sumber penularan. Maka kemudian pola yang digunakan adalah mendeteksi kehadiran migran atau warga Indonesia yang datang dari luar negeri ke sebuah daerah untuk dipantau secara ketat.
Strategi jitu lainnya bagaimana membatasi terjadinya kontak warga antar daerah. Maka ditelusuri dan dipantau sumber lokasi yang berpotensi menjadi tempat pertemuan warga antar daerah seperti terminal atau stasiun. Disini banyak terjadi pertemuan warga antar daerah. Maka wilayah terminal menjadi fokus pemantauan PSBB secara ketat.
Sehingga kebijakan pembatasan sosial berskala besar bukan lagi kebijakan yang “keras”, ketat dan tidak memberikan ruang gerak bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas ekonomi. Tapi Kebijakan PSBB ini bisa menjadi kebijakan yang “ramah” bagi rakyat setempat untuk tetap bisa beraktivitas secara ekonomi dengan syarat-syarat menjaga jarak dan menggunakan masker.
Maka ketika aparat Pemerintah Daerah harus berkonflik dengan rakyat yang sedang mencari nafkah tanpa dasar yang jelas akan menjadi bom waktu. Sudah 1,2 juta rakyat kehilangan pekerjaan. Dan jika penerapan PSBB masih terus berlangsung hingga satu atau dua bulan ke depan, tidak bisa dibayangkan penderitaan yang harus dialami masyarakat.
Memang pemerintah telah menyiapkan dana Bantuan Sosial sebesar Rp 600 ribu dan paket Sembako. Namun menurut hemat penulis, Bantuan Sosial ini tidak akan bisa menjadi solusi yang baik untuk memenuhi dan mengawal kebutuhan dasar masyarakat Indonesia yang jumlahnya mencapai jutaan orang.
Masyarakat Indonesia bukan bangsa pengemis. Masyarakat Indonesia butuh ruang gerak untuk bekerja keras menghidupi diri sendiri. Oleh karena jangan pernah membatasi mereka hanya dengan dalih PSBB atau menekan angka penularan virus Corona jika alasan dan metode yang dilakukan tidak dilakukan secara bijak dan cerdas.