JAKARTA, MonitorNusantara – Ya, ada baiknya kita bicara pelan-pelan saja. Kita hela napas demi satu bahan obrolan yang paling digemari oleh angkatan yang tumbuh saat reuni, berikut segala romantikanya.

“Waktu harus menjadi suri tauladan. Begitulah sesuatu hal harus dihayati, diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.”

Semuanya sama selaras dengan pemahaman bahwa batu pijakan yang tertata kuat dan rapi, sebagai landasan bisa berjalan. Jalan, cara hidup, yang semestinya membuat ini berdaya dan tegar dalam kancah kehidupan antar bangsa, merasuk di dalam sukma serta meresap sebagai kenyataan tiap manusia Indonesia, dalam tiap gerak dan perilaku
bangsa Indonesia sebagai kebenaran.

Momen baku tukar jawaban terjadi saat reuni hati nurani rakyat bersama Een Rusmiyati, Ketua DPC Hanura yang juga Anggota DPRD Kota Cirebon sekaligus Ketua Fraksi Kebangkitan Nurani itu dalam nilai persatuan dan kesatuan dengan suasana serius tapi santai sambil mengunyah.

Catatan sangat penting ini adalah keragaman ini tergambar antara suku bangsa akan pentingnya kemajemukan yang digunakan untuk dasar inklusif didasarkan dengan Hati nurani, insting dan dorongan yang membuat manusia mampu membangun masyarakat.

Suatu hal yang penting mengenai pandangan hati nurani ini adalah bahwa manusia menganggap dirinya berada dalam suatu hubungan sosial dengan sesuatu “yang lain”.

Maka dari itu, nasionalisme dalam hati nurani, dan konsep persaudaraan yang menyatakan bahwa dengan komunikasi, seluruh manusia di dunia ini tak akan lagi terpisah secara moral dari satu sama lain, berdasarkan pada budaya, etnis, maupun lingkup geografis. Orang-orang itu akan menciptakan etika dari perspektif utopis mengenai alam semesta, keabadian, atau ketidakterhinggaan, dan tidak mendasarkan hak dan kewajiban mereka dari kekuasaan yang ada dalam batasan-batasan seperti keturunan dan wilayah.

Inilah yang muncul dari perspektif spiritual atau hukum kodrat. Perspektif tersebut mengatakan, untuk mencapai kedamaian dunia, hati nurani yang benar sebagai sebuah aspek kesadaran universal, yang dapat diakses melalui warisan bersama umat manusia yang membuat kontribusi praktis yang patut diteladani untuk menyelesaikan masalah-masalah untuk mempromosikan aktivisme berdasar hati nurani yang menangani masalah terkait dengan perubahan iklim, hak asasi manusia, hak asasi binatang, korupsi, kemiskinan, dan konflik, demi “menutup celah yang ada antara dunia yang kita punya dan dunia yang diinginkan kebanyakan orang di seluruh dunia.”

“Bekerjalah demi kebaikan yang lebih besar.”

Kami memahami kebenaran tersebut dan berjuang tanpa pamrih. Dengan demikian, pikiran menjadi kongruen untuk tidak melakukan tindakan egois, dengan menemukan kesukaan dan ketenangan hati, kebaikan yang ada dalam eksistensi kita di alam semesta ini.

“Jauh di dalam hati nurani, suara hukum itu selalu memanggil untuk mencintai, untuk melakukan hal yang baik dan menjauhi hal yang buruk; mengatakan kepadanya, dari dalam: lakukan ini, jauhi itu. Di dalam hati, hukum yang sudah ditanamkan Tuhan untuk menaati hukum ini. Hati nurani adalah rahasia inti yang terdalam. Suara-Nya menggema di relung terdalam hatinya.”

“Kesenangan dengan hati nurani, Pengetahuan dengan karakter, Perdagangan dengan moralitas, Ilmu dengan kemanusiaan, Politik dengan prinsip.”

Mereka adalah “Realitas obyektif,” atau wilayah itu sendiri, terdiri dari prinsip-prinsip “mercusuar” yang mengatur pertumbuhan dan kebahagiaan manusia — hukum alam yang ditenun menjadi jalinan setiap masyarakat beradab sepanjang sejarah dan terdiri dari akar setiap keluarga dan lembaga yang memiliki bertahan dan makmur.

Realitas prinsip-prinsip atau hukum-hukum alam tersebut menjadi jelas bagi siapa saja yang berpikir secara mendalam dan memeriksa siklus sejarah sosial. Prinsip-prinsip ini muncul berulang kali, dan sejauh mana orang-orang dalam suatu masyarakat mengenali dan hidup selaras dengan mereka menggerakkan mereka menuju kelangsungan hidup dan stabilitas atau disintegrasi dan kehancuran.

Hampir seolah-olah prinsip atau hukum alam ini adalah bagian dari kondisi manusia, bagian dari kesadaran manusia, bagian dari hati nurani manusia. Mereka tampaknya ada dalam semua manusia.

Di akhir reuni santai ini, tetaplah kewajiban pertama adalah kebenaran, untuk warga negara, esensinya adalah disiplin. Dalam hal ini, kami juga menyediakan forum untuk kritik dan kompromi publik dan berusaha keras untuk membuat yang menarik dan relevan menjadi signifikan, serta menjaga agar tetap komprehensif dan proporsional yang memiliki kewajiban untuk melatih hati nurani pribadi kami, hak dan tanggung jawab. Terima kasih. (*)

Ikuti MONITORNusantara.com di Google News

Sempatkan juga membaca artikel menarik lainnya, di portal berita EDITOR.id dan MediaSosialita.com