Oleh Edi Winarto
Pemerhati Politik
Satu dua hari ini fenomena Gibran Rakabuming Raka menyita perhatian publik. Ia adalah putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), kader PDI Perjuangan dan Walikota Solo. Namanya kini jadi perbincangan publik karena digadang-gadang akan dimajukan koalisi partai besar, Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk diusung sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) pendamping Prabowo Subianto.
Mengapa partai sebesar Partai Golkar dan Partai Gerindra yang menempati rangking partai nomor dua dan tiga partai terbesar di Indonesia dengan raihan kursi diatas 100, kepincut meminang Gibran Rakabuming Raka.
Padahal partainya Gibran, PDIP tak terlalu memperhitungan aset politik yang dimiliki pada diri Walikota Solo ini. Dalam beberapa kesempatan kegiatan besar konsolidasi pemenangan PDIP, Gibran seolah selalu “ditinggalkan” oleh partainya.
Lantas apa yang menyebabkan partai sebesar Partai Golkar, Partai Gerindra dan PAN melirik sosok Gibran?
Apakah karena ada faktor ia putra dari Presiden Joko Widodo?
Memang bisa dibenarkan, salah satu faktor penting dukungan politik Gerindra, Golkar dan PAN kepada Gibran karena tak lepas dari pengaruh Jokowi.
Apakah karena saat ini Jokowi menjabat Presiden? Sehingga parpol itu “tunduk” dengan Jokowi?
Tidak juga!
Lantas apa modal kekuatan Jokowi, kok bisa mempengaruhi partai-partai besar itu “tunduk” dan mengikuti arahan dan petunjuk Jokowi.
Ya, karena Jokowi punya aset besar. Aset besar Jokowi sebenarnya bukan dari kekuasaannya sebagai orang nomor satu yang saat ini dipegang.
Tak bisa dipungkiri kekuasaan Jokowi pun tidak mutlak. Ia masih dalam bayang-bayang sosok besar di belakang dia yang bisa sewaktu-waktu merubah keadaan. Disinilah Jokowi sadar bagaimana ia harus memposisikan diri dan tahu diri.
“Kekuatan besar” ini bisa mengintervensi politik Jokowi. Namun yang tidak bisa dijangkau dan diintervensi oleh “kekuatan besar” ini adalah Relawan Jokowi. Elemen ini seolah menari-nari dalam independensi dan kebebasan. Darisanalah konsolidasi kekuatan pendukung Jokowi sedang dibangun sebagai aset besar Jokowi.
Jokowi memiliki ribuan pendukung yang tergabung dalam Relawan Jokowi. Ada Pro Jokowi (Projo), ada Santri Muda untuk Jokowi (Samawi), ada Arus Bawah Jokowi, ada Solidaritas Merah Putih (Solmet), ada Barisan Rakyat Pro Jokowi (Bara JP) dan banyak lagi.
Kekuatan dukungan termobilisasi dan terkonsolidasi inilah yang menjadi magnet parpol pendukung Prabowo Subianto tertarik untuk merangkul Jokowi meski sebentar lagi Jokowi akan lengser, pensiun dan tak punya kuasa lagi dan tak punya pengaruh apapun lagi.
Tapi kerjasama antara Jokowi dengan koalisi Prabowo bukan kerjasama atas bawah. Tapi kerjasama setara, saling melindungi dan saling menghormati. Bukan antara “bos” dan “petugas partai”.
Gibran Aset Jawa Tengah
Namun faktor pengaruh Jokowi dan kekuatan relawan pendukungnya, tidak menjadi salah satu pertimbangan satu-satunya bagi koalisi pendukung Prabowo. Semua sudah dipetakan dan dirancang oleh konsultan strategi politik di kubu Prabowo yang konon mengadopsi dan mengambil timnya Jokowi.
Ada faktor yang lebih penting dan menawan bagi Koalisi Pendukung Prabowo kenapa mereka tiba-tiba memilih Gibran dijual atau dipasarkan tampil sebagai Cawapres.
Memang Gibran bukan kader Partai Golkar, Gibran bukan kader Partai Gerindra apalagi kader Partai PAN. Namun kenapa partai-partai besar itu cinta setengah mati dengan Gibran dan tanpa pandang bulu mengusung Gibran meski anak muda ini kader partai PDIP.
Pertimbangannya cukup cerdik, jitu dan cermat. Orang boleh merendahkan Gibran yang dikatain oleh lembaga Survei kalah pamor dengan elektabilitas Erick Thohir, salah satu kandidat pesaing Gibran di bursa Cawapres pendukung Prabowo. Ada lagi tokoh terkenal seperti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menudingnya tak punya pengalaman dan masih belum matang.
Ada lagi yang menuduh hanya mengandalkan pengaruh ayahnya. Ada juga yang menuduh masih bau kencur dalam dunia politik. Semua nyaris memandang sebelah mata Gibran Rakabuming Raka.
Tapi mereka tidak melihat kecerdasan dan kehebatan anak muda ini dalam mengkonsolidasikan dukungan suara dan rakyat. Buktinya apa?
Dalam senyap Gibran dan timnya melakukan kerja-kerja politik dengan ulet dan tekun. Terbukti di berbagai daerah di Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur dan merambah ke DKI Jakarta bermunculan kekuatan mobilisasi dan konsolidasi anak-anak muda menggabungkan diri dalam elemen-elemen komunitas Relawan Pendukung Gibran. Elemen ini terus bergerak, bertambah dan kian membesar. Ini ancaman bagi lawan.
Elemen Relawan Gibran ini bermunculan, lahir dan terus bertambah. Mulai dari Solo, melebar ke kawasan Klaten, Karanganyar, Sukoharjo hingga meluas ke Purworejo, Magelang, Semarang dan kota-kota di Jawa Tengah. Melebarkan sayap ke Jawa Timur dan hingga Jakarta, kemudian hingga Banten. Bahkan hingga Bali. Salah satunya bisa dilihat relawan Bolone Mase, Relawan Kami Gibran, Semeton Gibran, dll.
Kerja politik Gibran terinspirasi dari sang ayahanda yang sukses meraih dukungan rakyat saat maju sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga pilihan Presiden. Ia menduplikasi cara kerja Jokowi dalam mengambil hati rakyat dan meraup suara. Namun Gibran sosok anak muda inovatif. Semua gaya Jokowi ia amati dan ia tiru dan menariknya ia modifikasi.
Kecerdasan politik Gibran inilah yang menjadi magnet bagi parpol besar di Koalisi Indonesia Maju (KIM), kian yakin dan terdorong untuk “merekrut” Gibran demi memenangkan Prabowo.
Prabowo Subianto saat ini memiliki lumbung suara di Jawa Barat dan Banten. Di Pemilu 2024 sudah dipastikan Prabowo akan jawara meraih suara di Jawa Barat. Apalagi di kubu Prabowo ada dua tokoh Jabar yang dikenal memiliki basis massa jutaan. Keduanya adalah Gubernur Jawa Barat 2018-2023 Ridwan Kamil dan Bupati Purwakarta dua periode Dedi Mulyadi atau Kang Dedi.
Tuntas sudah Jawa Barat jadi milik Prabowo. Sementara hingga kini kubu Ganjar-Mahfud belum memperlihatkan tanda-tanda modal atau aset apa yang dimiliki untuk merebut basis massa Prabowo di Jawa Barat.
Fokus atau konsentrasi kubu Prabowo kini mengarah ke Jawa Tengah. Tidak mudah memenangi suara di Jawa Tengah. Karena wilayah ini sudah menjadi kandang Banteng, sebuah istilah wilayah basis massa dan lumbung suara kemenangan PDI Perjuangan.
Sehingga keputusan kubu Prabowo memunculkan Gibran Rakabumbing Raka adalah jawaban paling cerdas dan out of the box. Meski dalam menerapkan strategi ini kubu Prabowo harus “mengorbankan” kandidat kuat Cawapres Airlangga Hartarto atau Erick Thohir.
Boleh saja politisi PDIP memandang sebelah mata dan meremehkan kadernya sendiri Gibran yang dianggap karir politiknya meroket karena dicalonkan PDIP jadi Walikota Solo.
Padahal dari kemenangan mutlak Gibran Rakabuming Raka di Solo, terdapat peran besar dan sentuhan tangan langsung Gibran dan timnya meramu kampanye ala anak muda. Gibran menggelar konvoi dan touring motor dengan ratusan pendukungnya.
Anak muda ini harus bersusah payah keliling dari kampung ke kampung mengetuk dari pintu ke pintu rumah warga. Ia mendengar apa keluhan mereka dan memberikan solusi. Ini bukan cerita kosong semua ada jejak rekam digitalnya karena sekarang era digital.
Tak salah jika Koalisi Indonesia Maju (KIM) meminangnya sebagai bakal Cawapres, meski di partainya ia tak diperhitungkan. Kehadiran Gibran sebagai pendamping Prabowo Subianto akan merebut banyak suara di Jawa Tengah, mengikis dominasi suara Ganjar Pranowo sebagai sosok yang pernah menjadi orang nomor satu di Jateng dan Jateng kandang PDIP.
Jika Jawa Tengah sudah aman karena Gibran Rakabuming Raka jadi jaminan suara disana akan terbelah dan Prabowo yakin akan meraup banyak dukungan suara dari peran Gibran yang sudah mengakar politiknya di Jawa Tengah khususnya karesidenan Surakarta, kini kubu Prabowo tinggal mengincar suara di Jawa Timur.
Kesimpulannya, politik itu penuh seni dan harus cerdas memainkannya. Sudah nggak jamannya lagi menebar fitnah, membangun narasi negatif, mengumbar jejak rekam dosa kandidat yang sebenarnya faktanya tidak demikian.
Jangan hanya bermodal otot, suka mencela, menghina, menjelek-jelekkan, arogan dengan pihak yang tak sependapat dengan dirinya.
Bermainlah politik dengan cantik, rendah hati, dan penuh riang gembira. Memainkan strategi politik harus dilakukan dengan inovatif dan menggunakan kecerdasan otak untuk mengatur strategi.
Memiliki kemampuan memetakan wilayah geopolitik. Utamakan mana daerah yang sulit ditembus dan selalu kalah disana. Cari solusi bagaimana cara menembus wilayah yang selama ini kandidat tak akan dengan mudah meraih dukungan suara. Agar pundi-pundi suara diraih dengan cara fair, jujur dan adil.
Jakarta, 22 Oktober 2023