Petani Milenial ini Tembus Singapura Ditengah Pandemi Corona

EDITOR.ID, Lembang,- Ditengah pandemi Virus Corona dan saat orang tak mampu bekerja gara-gara “Dirumah Saja”, sosok petani milenial bernama Triana justru tetap ulet dan tekun mengembangkan bisnis pertanian (agribisnis). Petani muda berusia 30 tahun ini menjadi buah bibir dan rujukan praktisi pertanian di berbagai daerah di tanah air.

Kenapa bisa demikian? Karena Triana mampu mengembangkan pengelolaan agro holtikultura berbasis diferensiasi advantage. Jika di daerahnya para petani umumnya menanam tanaman konvensional seperti cabe, tomat dan sayuran lokal. Tidak demikian dengan Antri, sapaan akrab Triana.

Pria asli Lembang, Bandung ini justru menanam dan membudidayakan tanaman impor dan unik. Yakni tanaman Buncis Kenya. Buncis Kenya menjadi idola karena tidak seperti tanaman buncis umumnya yang merambat sehingga tidak harus ditopang dengan lanjaran atau ajir kayu ataupun bambu.
Triana juga menanam tanaman impor bayam Jepang dan Tomat Cerry.

“Perawatannya tidak ribet seperti buncis secara umum, dari sisi harga pun lumayan mahal,” ujar petani yang sudah lama melakukan kontrak produksi dengan negara luar ini.

Selain itu, biaya produksi tanam Buncis Kenya pun terhitung murah. “Untuk kebutuhan benih hanya 20 kg per hektare, sedangkan potensi hasil bisa mencapai 8-10 ton setiap hektare-nya. Harganya sekarang Rp 18.000/kg. Ini sudah kontrak dengan eksportir,” jelas Antri.


Inovasi dan terobosannya menanam tanaman sayuran dan holtikultura yang jarang ditanam petani lain membuatnya berbeda. Disanalah ia mampu meyakinkan buyer dan pasar hingga produknya diterima di sejumlah supermarket modern.

Kelebihan dari Antri, ia tak ingin sukses sendirian. Ia ingin membangun dan menjadikan warga di daerahnya ikut menikmati kesuksesannya. Maka mulailah ia membentuk kelompok petani (Poktan). Ada sekitar 15 sampai 40 petani bergabung dengan Antri ikut menanam Baby Buncis.

 
Pasalnya, Antri harus mampu memasok kebutuhan supermarket secara rutin tak boleh terputus. Maka ia melibatkan petani lokal sebagai mitra untuk budidaya dan penanamam produk holtikultura baby buncis dan sayuran bayam Jepang.

Model dan niat Antri membantu sahabatnya para petani patut diacungi jempol. Ia membantu petani meminjami modal untuk membeli bibit dan pupuk NPK.

“Jadi petani tinggal mengambil bibit dan pupuk tidak usah bayar, mereka tinggal menanam dan nanti kalau sudah panen baru mereka mengembalikan pinjaman untuk membeli bibit dan pupuk NPK,” ujar Antri kepada EDITOR.ID yang berkunjung ke pertaniannya di kawasan Kampung Cijerakaso, Desa Cibodas Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, belum lama ini.


Awalnya Antri sempat merantau ke Bandung sebagai penjual gorengan. Namun, ia berubah pikiran untuk kembali ke kampung halamannya mengembangkan pertanian. Ia banyak belajar soal pertanian ketika ikut mengembangkan usaha pertanian industri besar.
Darisanalah Antri banyak belajar. Ia pun kemudian ingin menjadi petani mandiri. Ia mulai mengembangkan lahannya yang tidak luas untuk membudidayakan sejumlah tanaman holtikultura dan tanaman sayur.
 
“Awalnya sering gagal tapi buat saya kegagalan adalah pelajaran paling berharga untuk kita bisa tahu dimana titik kelemahan kita,” katanya.

Berkat ketekunan dan keuletannya, Antri mulai maju. Pertanian yang dikembangkan berhasil hingga ia bertemu seorang asal Singapura yang memintanya untuk menanam baby buncis. Karena di negara ini sayur baby buncis menjadi menu makanan mereka.


Mulailah Antri mengembangkan pertanian tanaman Baby buncis. Ia juga mendapat bantuan dari temannya yang memberikan dia Pupuk asal Jerman yang cukup bagus. Darisanalah ia banyak belajar tentang bagaimana membudidayakan tanaman Baby Buncis ini.
“Mulailah saya pelan-pelan berhasil mengembangkan tanaman ini dengan hasil satu kali tanam saya bisa tiga kali panen, dan masa tanamnya tidak terlalu lama hanya sekitar 45 hari sudah bisa panen,” paparnya.
 
Hasil produknya pun mulai dilirik Supermarket besar karena ia mampu merawat dan mengelola tanaman ini secara higienis hingga proses pengepakannya untuk dipasok ke Supermarket.
Karena permintaan kian besar Andri mulai kewalahan. Sejak itu ia mengumpulkan teman-temannya petani membentuk kelompok tani (Poktan). Kelompoknya ia namakan Macakal (bahasa Sunda yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti Mandiri).
Kian hari kian bulan lahan tanaman mulai berkembang dan bertambah. Banyak teman-temannya petani tertarik bergabung.
Sebanyak 1,2 ton buncis yang dihasilkan dari Desa Cibodas, Lembang, Kabupaten Bandung Barat rutin diekspor ke Singapura. Buncis dengan jenis baby kenya tersebut berasal dari panen tiap satu pekan pada lahan seluas 22 hektare yang dikelola kelompok tani Macakal, Lembang.

Tiap satu pekan buncis yang dipanen bisa mencapai lebih dari 1 ton dan paling rendah 500 kilogram. Dengan total 140 petani yang menggarap lahan.
Dari segi perawatan, buncis Kenya tergolong sangat mudah dan masa panennya pun tergolong cepat, yaitu 45 hari. Namun, pembudidayanya masih dapat dihitung dengan jari, sehingga ada peluang besar untuk membudidayakan varietas ini baik untuk memenuhi permintaan di pasar lokal maupun pasar international.

Setidaknya kelompok Tani Macakal di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Bandung Barat telah menjadi pahlawan. Karena mereka telah ikut menyumbangkan devisa bagi negara.

Kenya Buncis dan Tomat Cerry yang berhasil mereka kirim ke mancanegara adalah Komoditas Unggulan Pertanian. Triana Ketua Kelompok Tani Macakal mengatakan bahwa yang menjadi primadona ke pasar ekspor adalah kenya buncis.
Hingga saat ini luas lahan pengembangan tiga komoditas sayuran andalan Kelompok Tani Macakal mencapai 22 hektare. Sebagian besarnya kini ditanami kenya buncis.
“Total luas lahan yang dimiliki baik anggota kelompok tani dan dan juga mitra kami seluas 22 hektare yang berlokasi di Lembang,” ujar Triana.
Diakui Triana, saat ini Kelompok Tani Macakal memiliki 140 anggota dengan 210 kemitraan. Dirinya menambahkan, dalam seminggu Kelompok Tani Macakal bisa memanen kenya buncis sebanyak 2-3 ton.
“Tujuan ekspor saat ini, kami baru menyasar Singapura dan Brunei Darussalam,” tambahnya.
Semakin menyempitnya lahan di kawasan Desa Cibodas akibat pembangunan vila dan resort di kawasan ini tak menyurutkan para petani mudanya untuk patah semangat. Mereka justru kian berprestasi saat mampu berkreasi menjadikan lahan mereka yang minim menghasilkan produk yang maksimal.
“Ini tantangan buat kami, disaat semakin banyak lahan beralih fungsi menjadi bangunan kita ingin produktifitas hasil panen kita terus meningkat. Selain itu, kita juga mulai melakukan pengembangan di luar Lembang,” ungkapnya lagi.
Berkat kegigihan mereka, saat ini, Kelompok Tani Macakal bisa meraup omzet hingga Rp200 sampai Rp300 juta per bulannya.
“Mayoritas petani di Macakal merupakan petani milenial. Kita ingin anak-anak muda di Lembang lebih ekspansi ke pekerjaan di sektor pertanian khususnya di Lembang. Kita di Macakal ingin menyejahterakan petani,” tandas Triana. (tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Comment moderation is enabled. Your comment may take some time to appear.

%d bloggers like this: