Jakarta, MONITOR NUSANTARA.COM,- Meski sudah berpulang keharibaan Allah SWT dua tahun silam, sosok keteladanan Buya Syafii Maarif meninggalkan kesan indah yang tak pernah terlupakan di jiwa setiap insan. Buya Syafii adalah guru bangsa. Buya Syafii Maarif selama ini memberi keteladanan yakni hidup dalam kesederhanaan.

Tanpa kenal lelah hingga akhir hayatnya Buya Syafii selalu menyuarakan tentang keberagaman, tentang toleransi dan beliau juga selalu menyampaikan Pancasila sebagai perekat bangsa.

Buya yang nama lengkapnya Ahmad Syafi’i Ma’arif merupakan warga asli kelahiran Minangkabau yang tentu kita tahu banyak orang berkarakter penuh dedikasi dan berintegritas yang lahir dari kota Gadang itu. Sosok Buya memang istimewa, saking banyaknya kebaikan yang melekat pada beliau sampai-sampai banyak persaksian baik melalui media tulis maupun ungkapan lisan mengalir deras buat Buya.

Sosok Buya sebagai seorang mujahid yang sangat peduli dan selalu mendorong anak muda untuk terus berkontribusi sesuai bidangnya. Satu hal lain yang melekat dari Buya yaitu kepedulian pada sesama terutama ketika isu Palestina terus digemakan untuk didukung kemerdekaannya.

Buya hanya ingin mengajarkan kepada kita bahwa sebelum bertindak harus berpikir terlebih dahulu. Apa yang akan menjadi keputusan seharusnya bermuara pada etika dan ilmu bukan asal dorongan emosi belaka.

Semua pesan moral dan inspirasi dari kehidupan sehari-hari Buya Ahmad Syafii Maarif inilah yang dirangkum dalam sebuah karya tulisan monumental yang dipersembahkan oleh Syaefudin Simon dan Swary Utami Dewi dalam sebuah Buku berjudul “Cahaya Keteladanan Umat dan Bangsa”.

Buku ini diberi kata pengantar oleh Haedar Nashir dan Said Aqil Siroj.

Buku ini pada Sabtu (1/6/2024) bertepatan dengan Hari Peringatan Kelahiran Pancasila dilaunching oleh sang penulisnya di Kafe dan Galery Buku, Nathan di bilangan Jalan Cisanggiri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Acara launching dihadiri banyak tokoh diantaranya pengamat politik UI Fachri Ali, wartawan senior Nasir Tamara.

Ketua Dewan Redaksi EDITOR.ID, Asri Hadi juga berkesempatan ikut menghadiri bedah buku Buya Ahmad Syafii Maarif yang ditulis dan testimoni Syaefudin Simon dan Swary Utami Dewi. Asri Hadi mendapat hadiah buku Buya Syafii Maarif yang langsung ditandatangani oleh penulisnya Swary Utami Dewi.

“Saya merasa sangat senang dan bangga mendapatkan kado atau hadiah buku dari Buya Syafii Maarif, tokoh yang sangat saya kagumi dan tauladani,” ujar Asri Hadi disela-sela acara launching buku “Buya Ahmad Syafii Maarif, Cahaya Keteladanan Umat dan Bangsa”

Asri Hadi Bersama Penulis Buku Swary Utami Dewi

“Saya menyampaikan ucapan selamat kepada penulis buku yakni Ibu Utami Dewi dan mas Syaefudin yang telah meluangkan waktu berbulan-bulan untuk merangkum, menyusun dan mendiskripsikan kembali sosok Buya Syafii, tokoh yang sangat dikagumi banyak orang,” kata Asri Hadi.

Buku karya Utami Dewi dan Syaefuddin Simon ini dimata Asri Hadi sangat bagus sekali. “Semoga buku ini bisa menginspirasi para generasi muda bahwa Indonesia pernah memiliki tokoh besar Buya Ahmad Syafii Maarif yang sangat dikenang. Banyak pesan moral yang menyentuh dari sosok yang penuh kesederhanaan ini,” pungkas Asri Hadi.

Sehari sebelum melaunching bukunya atau tepatnya saat Buya Syafii Ulang Tahun atau Haul, Swary Utami Dewi sempat membuat surat terbuka untuk mengenang Almarhum Buya Syafii Maarif. Berikut isinya :

Assalamualaikum. Buya, hari ini, 31 Mei 2024. Seharusnya Buya berulang tahun ke-89. Tapi dua tahun lalu, 27 Mei 2022, Buya sudah berpulang kembali ke Allah, Sang Pemilik Sejati Kehidupan.

Biasanya setiap Buya ulang tahun, aku akan mengirim pesan singkat ke Buya. Nomor WhatsApp (WA) Buya 0811xxxx42 masih ada di handphone-ku; Nomor yang selama bertahun-tahun sejak pertengahan 2000 kerap kusapa. Salah satunya jika Buya ulang tahun. Ini tahun ketiga aku tidak lagi mengirim ucapan ulang tahun ke Buya: 2022, 2023 dan 2024. Kan, Buya sudah bersama Allah. Istilah Mas Komaruddin Hidayat, Buya sudah “pulang kampung”.

Buya semoga masih ingat jika saat-saat tertentu saat aku resah melihat kondisi negeri, aku mengirim WA ke Buya. Sekedar curhat-curhat ringan tentang kondisi Indonesia. Dan waktu itu, memang kondisinya berbeda. Yang keras dan kencang adalah isu toleransi dan pluralisme. Dan Buya biasanya akan mengatakan, “Jalan terus, Tami. Teruslah berbuat kebaikan. Jangan pedulikan politik.”

Dan aku memang terus berjalan, Buya, meneruskan minatku untuk masyarakat marginal, untuk isu lingkungan, untuk isu keragaman Indonesia, untuk isu budaya. Lalu Buya, dipanggil Allah 27 Mei 2022. Dan aku pun berhenti mengirim pesan singkat.

Aku masih ingat, sewaktu mendengar Buya wafat, aku menangis cukup lama. Tapi aku dan banyak orang tahu, jika Buya bahagia di sisi Tuhan. Memang sudah waktunya Buya berpulang. Tidak ada satu pun makhluk yang bisa menolak maut. Al Fatihah.

Tapi, apakah Buya tahu apa saja yang terjadi sesudah Buya tiada? Ada banyak hal, kejadian, kegamangan dan kebingungan terjadi di negeri ini. Bukan lagi hanya soal politik toleransi dan pluralisme. Tapi ada pergesekan keras antara politik berlandaskan etika versus prosedural. Juga ada titik rumit ketika keluar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang usia, yang kemudian dinilai melanggar etika.

Tapi semua proses berikutnya tetap bisa berjalan. Ada kritik terhadap survei, politik uang, bantuan sosial, cawe-cawe dan lain-lain. Banyak pokoknya. Bikin gemas dan cukup melelahkan. Ada pula serangkaian sidang di MK yang hasilnya diputuskan dengan perbedaan pendapat di antara para Hakim Konstitusi. 5:3.

Akhirnya, ada pengesahan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang menang Pemilihan Presiden. Selanjutnya, masih “wait and see” seraya terus berharap adanya kebaikan dan perbaikan untuk negeri ini.

Begitulah Buya… Hal-hal kontroversial di luar nalar banyak membuat Tanah Air bergetar, disertai kegamangan dan kecemasan. Para guru besar dan akademisi serta kelompok-kelompok masyarakat madani gencar bersuara. Aku sendiri ikut aktif di beberapa kegiatan untuk mengulik isu-isu terkait. Kadang rasanya lelah, Buya. Tapi Buya pernah mengatakan, “Jangan pernah lelah untuk berbuat kebaikan.”

Jadi Buya, meski bagi orang-orang tertentu ada isu yang dianggap hilang sesaat, atau tak masalah, bagiku tetap ada hal yang harus jadi perhatian bersama. Soal etika, integritas dan trust. Juga ada soal korupsi. Aku terbayang, entah bagaiman murkanya Buya jika tahu tak masuk akalnya korupsi yang terbongkar akhir-akhir ini.

Ada yang hingga 271 triliun. Konon, ada yang lebih dari itu. Dan banyak yang dilakukan dengan cara mengacak-acak sumber daya alam Indonesia. Padahal, dalam konstitusi disebutkan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk kesejahteraan rakyat”; Bukan untuk diacak-acak, bukan untuk segelintir orang yang serakah.

Dan ini bukan yang pertama, Buya. Di sana-sini masih banyak yang ilegal-ilegal serupa, yang anehnya kerap menjadi ajang pamer-pamer di media sosial tanpa malu-malu. Ah, aku jadi teringat Buya yang selalu memberi keteladanan tentang kesederhanaan. Sifat zuhud dan sederhana Buya memang susah dicari tandingannya.

Oya Buya, tentang korupsi ini, aku ingat banyak tulisan dan pernyataan Buya yang mengkritik keras tindak korupsi. Sewaktu ada upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Buya bersuara lantang. “KPK itu wajib dibela, diperkuat, tetapi KPK itu bukan suci. Harus diingat kalau KPK tidak suci, tetapi ketika akan ada yang melemahkan, KPK wajib dibela.” Demikian kurang lebih Buya berkata. Tahukah Buya, sejak itu lembaga tersebut memang makin jadi catatan dan kritik banyak pihak. Entah ke mana gaungnya kini.

Buya, terkadang aku berbincang dengan pengemudi online, yang mengeluhkan tentang harga-harga yang semakin naik, termasuk sembako. Jika sudah naik, maka susah turun. Maka ada seorang supir yang bercerita, untuk makan, yang dilakukannya adalah dengan menyantap menu sederhana itu-itu saja. Rasa bosan terhadap menu yang sama berhari-hari dikalahkan oleh keharusan makan untuk bertahan hidup. Bagaimana dengan masyarakat lain yang tidak punya sandaran hidup ya, Buya? Ah, entahlah.

Lalu ada pula kemarin ramai “ger-geran” di dunia pendidikan, utamanya biaya pendidikan tinggi (PT), yang menjadi sorotan karena dirasakan mahal dan tidak terjangkau bagi golongan tertentu. Dari satu webinar yang baru-baru ini kuikuti, ada pembicara yang menyatakan hanya total 13% rakyat Indonesia yang sudah menempuh pendidikan tinggi.

Sebelumnya aku menemukan data dari Kementerian Dalam Negeri, yang dikutip suatu media, bahwa jumlah penduduk Indonesia yang sudah masuk PT per 31 Desember 2022 untuk tingkat Diploma-1 dan Diploma-2 sebesar 1,11 juta orang atau 0,4% dari total penduduk Indonesia.

Lalu Diploma-3 sebanyak 3,56 juta orang atau 1,28%. Sementara Strata-1 sebanyak 12,44 juta orang atau 4,47%. Strata selanjutnya lebih sedikit lagi. Masih kecil ya, Buya? Sementara, pendidikan yang baik adalah salah satu kunci dari kemajuan bangsa. Kapan persoalan pendidikan ini bisa kita tuntaskan?

Juga ada berita beredar tentang jutaan generasi muda yang tak punya pekerjaan alias menganggur. Jikapun ada pekerjaan, menurutku, mereka bisa jadi menggeluti pekerjaan semu (pseudo) seperti menjadi pedagang kaki lima, pengemudi online dan sejenisnya. Kata seorang pengemudi online berusia 29 tahun yang kutemui beberapa hari lalu, ia lulusan Fakultas Hukum di salah satu universitas negeri di Sumatra. Karena belum dapat pekerjaan, ia menjadi pengemudi online. Yang penting baginya bisa bertahan hidup.

Belum selesai sampai di sini, Buya. Sekarang ada lagi “aturan” baru. Katanya untuk perumahan. Ada potongan wajib tiap bulan baik bagi pegawai negeri dan swasta. Sementara, rata-rata pengembang perumahan terus bisa menentukan harga rumah begitu tinggi tidak terkendali. Rumah menjadi sesuatu yang bagi banyak orang bisa jadi hanya impian belaka.

Padahal, pendidikan, pekerjaan dan penghidupan yang layak itu merupakan hak konstitusional warga negara. Tapi nyatanya masih banyak yang sulit mendapatkan haknya ini; Sementara banyak hambatan bagi negara, melalui pemerintah, untuk mau dan mampu memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Banyak lagi Buya, hal-hal yang masih harus diperbaiki.

Yang jelas, hatiku miris melihat kehidupan masyarakat bahwa yang semakin bawah. Sementara ada super-super konglomerat teratas, yang jumlah kekayaannya bisa meningkat fantastis dalam hitungan bulan. Memang betul kata Buya, bahwa Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menjadi sila yang paling susah diwujudkan di Indonesia.

Begitulah Buya… Di sela-sela upaya dan penantian untuk Indonesia yang lebih baik, aku dan Bang Simon, akhirnya berhasil menerbitkan puluhan tulisan tentang Buya. Bukan untuk memuja. Tapi untuk mengingatkan kembali kita semua akan pikiran, perasaan, sikap dan tindakan Buya.

Buku ini kami beri judul Buya Ahmad Syafii Maarif: Cahaya Keteladanan Umat dan Bangsa. Buku itu terbit beberapa hari lalu. Jika ini boleh disebut sebagai hadiah untuk Buya, boleh jadi ini hadiah terbaik dariku dan Bang Simon. Semoga Buya tersenyum dari sana melihat kehadiran buku bersampul hijau telur dengan gambar Buya mengenakan batik sederhana.

Ah Buya, masih banyak yang sebenarnya ingin kuceritakan. Tapi kusimpan dulu ceritaku yang lain. Karena terus-terang, aku menulis ini sambil sesekali menghapus air mata; Air mata kerinduan akan sosok negarawan yang lurus, baik dan tegas serta keras pada penyelewengan dan kemungkaran. Aku yakin, Buya di sana juga terus berharap negeri ini akan lebih baik. Doakan selalu kami ya, Buya.

Dan akhirnya, selamat ulang tahun, Buya. Cahaya kebaikanmu tetap akan bersinar terang.

Wassalam,
Tami

Ikuti MONITORNusantara.com di Google News

Sempatkan juga membaca artikel menarik lainnya, di portal berita EDITOR.id dan MediaSosialita.com