Ilustrasi paru paru

MONITORNUSANTARA.COM, JAKARTA-Indonesia dinilai masih terbebani oleh penyakit tuberkulosis (TB). Masyarakat diimbau untuk memeriksakan dirinya ke dokter bila batuk terus menerus selama 14 hari.

Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI) Henry Diatmo, mengatakan, meski jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia banyak, mereka yang menjalani pengobatan merosot.

Menurunnya jumlah pasien yang melakukan pengobatan juga dianggap tak terlepas dari situasi pandemi Covid-19.

“Selain Covid-19, kesehatan masyarakat Indonesia masih terbebani dengan penyakit menular seperti TB yang sudah ada sejak lama. Upaya mempromosikan penyakit ini pun harus mengadopsi cara-cara baru untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa tuberkulosis masih ada di sekitar kita,” katanya dalam keterangan pers, Senin 21 Februari 2022.

Data World Health Organization menyebutkan bila pasien TBC di Indonesia sebanyak 824.000 jiwa. Jumlah itu membuat posisi Indonesia termasuk tiga besar negara dalam kasus tuberkulosis.

Menurutnya, tuberkulosis bukan batuk biasa. Bila penderitanya mengalami gejala batuk lebih dari 14 hari, maka sudah waktunya periksa ke dokter.

Mengenai hal ini, ia mengatakan, STPI tengah gencar melakukan kampanye mengenai skrining mandiri tuberkulosis. Hal itu sebagaimana yang diamanatkan juga dalam Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

Skrining tuberkulosis mandiri

Henry mengatakan, salah satu kampanye yang tengah dilakukan untuk membuat masyarakat lebih peka mengenai tuberkulosis adalah skrining gejala aktif tuberkulosis secara mandiri dengan mengingat #14CekTBC. Artinya, jika selama 14 hari batuk tak kunjung reda, maka sudah saatnya periksa kesehatan ke dokter.

Ia menambahkan, kampanye ini juga dilengkapi dengan berbagai artikel kesehatan yang bisa diakses di website Stop TB Partnership Indonesia.

Kampanye tersebut telah didukung pula oleh deretan fitur supaya menjangkau masyarakat luas, seperti Chatbot yang segera bisa diakses dari website dan Whatsapp.

Menurutnya, fitur-fitur tersebut bisa membantu masyarakat mendapatkan panduan identifikasi tuberkulosis sejak dini, mengetahui lokasi fasilitas kesehatan terdekat untuk melakukan pemeriksaan di layanan dengan fasilitas diagnosis, sampai berbicara langsung dengan dokter melalui rekanan e-health platform.

Fitur lainnya adalah fitur Pengingat 141CekTBC dimana fitur ini diharapkan bisa membantu masyarakat lebih cepat tanggap terhadap gejala Tuberkulosis dengan memasang pengingat tentang lamanya gejala batuk muncul hingga hari keempat belas.

“Pendekatan persuasif kampanye ini diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan, pandangan, dan sikap orang-orang dengan gejala tuberkulosis untuk mengakses layanan dengan fasilitas diagnosis TB di masa pandemi. Dengan begitu, mereka yang memiliki gejala TB bisa mendapatkan diagnosis yang tepat serta pengobatan yang sesuai standar sampai sembuh,” tuturnya.

Menurutnya, membangun kesadaran adalah hal fundamental untuk mengubah pandangan dan perilaku masyarakat Indonesia terhadap penyakit tuberkulosis.

Terlebih sejak munculnya Covid-19 karena kedua penyakit ini menular melalui udara dan menunjukan gejala serupa yaitu batuk dan demam.

“Oleh karena itu, kampanye promosi kesehatan tentang penyakit TBC menjadi semakin penting di masa pandemi ini,” ujarnya.

Stigmatisasi Tuberkulosis

Sebelumnya, penanggulangan tuberkulosis kompleks karena tidak sekadar pengobatan saja, namun juga terkait dengan persoalan psikososial, seperti stigmatisasi dan diskriminasi.

Tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tengah meneliti persoalan psikososial pasien TB ini dalam rentang waktu Februari sampai November 2022.

Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, Retno Asti Werdhani, mengatakan, dampak stigma TB dapat membuat pasien menghindari pemeriksaan serta menyembunyikan status penyakitnya.

Pandangan yang keliru pada masyarakat bisa menimbulkan keengganan seseorang untuk mencari pertolongan.

Sehingga ia bisa menjadi agen penularan,” tuturnya dalam webinar bertajuk Kick-off Penelitian Menilai dan Mengatasi Dampak Psikososial Tuberkulosis di Indonesia, beberapa waktu lalu.

Ia menambahkan, stigma dan diskriminasi TB terkait juga dengan penyampaian informasi. Dengan demikian, upaya menanggulanginya bisa dilakukan dengan media informasi yang efektif bagi masyarakat.***

Ikuti MONITORNusantara.com di Google News

Sempatkan juga membaca artikel menarik lainnya, di portal berita EDITOR.id dan MediaSosialita.com