Jakarta, MONITORNUSANTARA.COM,- Isu pembayaran royalti musik kembali menjadi sorotan publik, khususnya di kalangan pelaku usaha sektor kafe dan restoran. Hal ini menyusul penegakan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik.

Untuk membedah tuntas masalah ini Pengurus Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) Drs Asri Hadi MA memandu acara diskusi publik dengan tema “Isu Royalti, Terkini dan Kedepan. Diskusi Publik ini digelar di The Balai Sarwono, Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2025).

Acara ini menghadirkan pengusaha hotel dan restoran Yuno Abeta Lahay. Beliau menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Yuno juga merupakan sosok praktisi komunikasi, penyelenggara event, sekaligus penyiaran.

Juga menghadirkan sejumlah tokoh musik. Diantaranya Chandra Darusman. Chandra memiliki rekam jejak panjang melalui Pusat Studi Ekosistem Musik dan pengalaman sebagai mantan pengawas Lembaga Kolektif Manajemen Nasional (LKMN). Dan juga Kepra pencipta lagu anak-anak. Musisi Sandy Canester sebagai bintang tamu.

Sebagai moderator acara, wartawan senior yang juga Ketua Dewan Redaksi EDITOR.ID Asri Hadi tampil sangat komunikatif. Asri mampu memotivasi peserta diskusi dan membuat suasana diskusi semakin bersemangat. Beberapa kali ia memperkenalkan para undangan yang hadir diantaranya penyanyi era 80-90an Ikang Fauzi dan sejumlah pengusaha.

Acara ini menjadi momentum penting untuk merumuskan solusi bersama menghadapi tantangan pengelolaan royalti di era digital, di mana karya musik, film, dan konten kreatif lainnya semakin mudah diakses namun kerap luput dari perlindungan hak cipta.

Karenanya peserta yang hadir sangat banyak dan mereka semua antusias mengajukan pertanyaan dan pernyataan soal isu royalti. Diantaranya wartawan senior hiburan Ludi Hasibuan. Hadir juga Ketua Umum Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) Budi Rahardjo. Sekjen AMDI Edi Winarto. Ketua Umum Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung (Forsimema) Syamsul Bahri.

Pengurus Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) Drs Asri Hadi MA memandu acara diskusi publik dengan tema “Isu Royalti, Terkini dan Kedepan. Diskusi Publik ini digelar di The Balai Sarwono, Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2025).

Yuno Abeta Lahay Soroti Pentingnya Prinsip Keadilan dan Pengawasan yang Transparan

Salah satu pembicara, dr.Yuno Abeta Lahay, menekankan pentingnya penerapan prinsip keadilan dan pengawasan yang ketat dalam sistem distribusi royalti demi melindungi hak-hak para pencipta, musisi, dan pihak-pihak terkait di industri kreatif.

Dalam pemaparannya, Yuno menyoroti fakta bahwa meskipun regulasi tentang royalti telah mengalami perkembangan, praktik di lapangan masih menguraikan berbagai permasalahan, seperti ketidakjelasan mekanisme komputasi, lemahnya transparansi, hingga minimnya pengawasan terhadap lembaga pengelola royalti.

“Keadilan dalam pendistribusian royalti bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi tentang bagaimana memastikan para pencipta mendapatkan haknya secara proporsional dan transparan. Tanpa pengawasan yang efektif, potensi kebocoran dan ketimpangan akan terus terjadi,” ujar Yuno Abeta Lahay.

Yuno juga menekankan perlunya sinergi antara pemerintah, lembaga pengelola, dan pemangku kepentingan industri yang kreatif untuk memperkuat mekanisme audit dan pengawasan publik. Menurutnya, langkah ini menjadi kunci untuk membangun ekosistem royalti yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

“Kita perlu memastikan sistem pengawasan berjalan ketat dan akuntabel. Bukan hanya untuk melindungi hak para pencipta, tetapi juga untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan investor terhadap industri kreatif nasional,” tambahnya.

Melalui forum tersebut, dr. Yuno Abeta Lahay memiliki harapan terciptanya inovasi kebijakan dan mekanisme pengawasan yang lebih transparan serta berbasis teknologi. Dengan demikian pendistribusian royalti dapat dilakukan dengan lebih cepat, adil, dan tepat sasaran. Dan hal ini akan memperkuat fondasi industri kreatif nasional.

Kepra Soroti Rendahnya Pemahaman Publik

Sementara Kepra menyoroti masih rendahnya pemahaman publik soal mekanisme royalti. Minimnya sosialisasi membuat isu performing right, direct licensing, hingga peran Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sering tercampur.

“Awalnya hanya soal ijin dan fee komposer untuk lagu yang dinyanyikan di konser. Tapi publik kini dibuat bingung oleh isu-isu yang tumpang tindih,” ujar Kepra.

Candra: Publik Harus Paham

Sedangkan pembicara lainnya musisi Candra Darusman menegaskan pentingnya forum publik ini untuk memberi pemahaman utuh tanpa bias. Ia mendorong kolaborasi lintas sektor dengan menjunjung transparansi dan akuntabilitas.

“Harapannya, industri musik bisa kembali ke rel yang benar, membesarkan ‘kue royalti’ dan membaginya secara adil serta amanah”, kata Candra Darusman.

Sebagaimana diketahui pemutaran musik di ruang publik seperti restoran, kafe, hotel, atau pusat perbelanjaan dianggap sebagai bagian dari layanan komersial. Musik yang diputar, meski berasal dari layanan legal seperti YouTube, flashdisk, atau Spotify, tetap wajib dibarengi dengan pembayaran royalti karena memberi nilai tambah bagi usaha.

Kewajiban ini berlaku untuk berbagai tempat usaha, antara lain restoran, kafe, bar, hotel, salon, pusat kebugaran, karaoke, bioskop, transportasi umum, perbankan, kantor, konser, hingga taman rekreasi. Intinya, setiap ruang publik yang memutar musik guna mendukung kegiatan usaha dikenakan kewajiban membayar royalti.

Prosedur Mendapatkan Lisensi

Pemilik usaha yang ingin menggunakan musik secara legal dapat mengajukan lisensi melalui LMKN atau KP3R (Koordinator Pelaksana, Penghimpunan, dan Penarikan Royalti) di wilayah masing-masing. Prosesnya meliputi:

Menghubungi bagian lisensi LMKN/KP3R.
Mengisi formulir sesuai kategori usaha.
Melampirkan NPWP perusahaan atau penanggung jawab.
Menunggu verifikasi dari LMKN.
Membayar sesuai invoice yang diterbitkan.
Mendapatkan sertifikat lisensi sebagai bukti legalitas.

Dengan mekanisme ini, LMKN berharap pelaku usaha dapat mematuhi aturan sekaligus memberikan apresiasi yang layak bagi para pencipta lagu dan pemegang hak cipta.

Namun para pengkritik menilai LMKN gagal melaksanakan tugasnya sejak 2016, termasuk menyusun database lagu dan pencipta (SIMPB), membuat platform digital, melaporkan hasil kerja, dan menjaga transparansi publik. (*)

Ikuti MONITORNusantara.com di Google News

Sempatkan juga membaca artikel menarik lainnya, di portal berita EDITOR.id dan MediaSosialita.com