JAKARTA, MonitorNusantara – Budaya pop Korea mengentak dunia secara masif dan menakjubkan. Utamanya melalui kanal musik K-Pop dan film K-Drama. Rupanya, menurut Guru Besar Antropologi FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto, dunia pendidikan dan pemerintahan Korea adalah lembaga yang paling bertanggungjawab atas raihan positif ini. Menurut dia, tanpa sokongan kedua institusi itu industri seni dan kebudayaan Korea saat ini tidak akan bisa menggeser hegemoni Barat.
Hal tersebut terungkap dalam Talkshow Bung Karno Series yang tayang perdana di kanal Youtube BKN PDI Perjuangan, yang dikutip awak media ini, Senin (03/07/2022) yang dipandu host Mirza Ahmad dan Olivia Prastiti.
Menurut Aji, pandangan yang terlalu konservatif terhadap budaya asing yang masuk ke Indonesia harus diantisipasi. Sebab, bangsa kita sudah teruji waktu untuk mengelola keragaman sosial budaya. “Ini adalah pandangan pesimis dan penuh ketakutan, yang seperti ini bukan Bung Karno. Selain Presiden Pertama dan Proklamator, dia adalah pemikir kebudayaan yang unggul. Kita ingat dia memperkenalkan keroncong. Memang asli Indonesia tetapi instrumennya itu Portugis, Eropa. Tetapi notasinya tidak dibuat seperti Eropa tapi masuk ke langgam dari Jawa. Nah, taste-nya Indonesia,” ungkapnya.
“Tarian Maluku, itu kebudayaan barat masuk ke sana, tapi diberi taste Indonesia, menjadi Lenso. Kebudayaan adalah proses kreatif, jika dia unggul maka berubah dari nilai budaya menjadi nilai komoditas,” imbuh Aji.
Pria yang kini diamanahi Dekan FISIP UI itu menyatakan, Korea dengan sengaja melakukan berbagai cara agar secara sistemik dan masif mampu menggeser dominasi kebudayaan barat. Oleh karena itu, mereka menggunakan Universitas-universitas terkemuka milik mereka sebagai ujung tombak.
“Dalam level negara, kita perlu strategi kebudayaan yang dirumuskan dengan baik. Korea dengan sengaja menggunakan budaya sebagai ujung tombak untuk mentransformasikan masyarakat mereka, dari yang awalnya industrial biasa menjadi industri terkemuka dan itu dimulai dari memasarkan produk budayanya sambil memperkuat etos kerja yang sesuai industri: bekerja keras, kreatif dan bertanggungjawab. Jadi proses itu jangan dilupakan. Kita butuh kebijakan kebudayaan. Secara sengaja kemudian Korea memberikan penghargaan kepada siapa pun yang bersifat kreatif. Berani beda. Dimulai dari apresiasi terhadap anak-anak dalam proses penciptaan seni, negara berperan penting di dunia pendidikan. Ini menemukan kepercayaan diri,” jelasnya.
“Korea hadir itu untuk memutus hegemoni barat. Kita bisa menggemari itu semua (KPop dan KDrama) karena relate (mengaitkan). Dan justru dengan sinetron-sinetron Indonesia, kita tidak relate. Tentu selain faktor di kita, industri besar mereka menyediakan riset. Dunia industri itu akan terbantu dengan universitas yang melakukan riset. Pastinya, mereka menemukan ahli untuk ini mau dipasarkan ke mana. Indonesia adalah pasarnya ya. Apa sih yang kemudian menjadi ‘kegemaran apa, konteksnya seperti apa’ ini pasti dipelajari. Komentar adalah bagian yang sangat dipelajari, itu adalah feedback. Haters gunanya di situ,” terangnya lagi.
Meski begitu, menurut dia Indonesia tak perlu khawatir dengan adanya strategi kebudayaan ala Korea ini. Sebab, dalam kebudayaan, ia selalu bersifat resiprokal.
“Ada interaksi, bukan suatu budaya masuk terus kita terima habis-habisan, di sini mengalami lokalisir, tanpa itu semua sulit terima dikonteks lokal. Tidak ada namanya masuk 100 persen. Selalu ada yang namanya pertukaran budaya,” ungkapnya.
Dunia, kata Aji, sedang mengerucut dalam satu kebudayaan global akibat arus perkembangan teknologi informasi yang cepat. Dengan adanya itu, kita sekarang makin personalized (dipersonalisasi), semakin individual. “Nilai-nilai kita perlu kita refresh. Generasi sekarang sangat terbuka. Ini berkas sekaligus challenge (tantangan). Mereka terbuka terhadap siapa pun dan apa pun. Kita kosmopolitan, tetapi Didi Kempot, Happy Asmara, Nella Kharisma, Via Vallen membuat kita tetap Indonesian. Ini adalah kolaborasi instrumen barat dan cita rasa lokal,” tandasnya. (*)