MONITORNUSANTARA.COM – Tidak semua orang bangun pagi dengan agenda besar. Ada yang sekadar ingin warungnya tetap buka, dagangannya tetap laku, atau anak-anaknya tetap makan tiga kali sehari. Tapi ada satu hal yang bisa mengguncang semua itu: naiknya harga BBM dan sembako.
Kedengarannya klasik. Tapi realitanya tetap pedih.
Masyarakat kita sebetulnya sudah sangat akrab dengan istilah “kenaikan harga”. Rasanya seperti tamu lama yang tak pernah benar-benar pergi. Yang berbeda hanya waktu dan skalanya. Kadang naik sedikit, kadang melonjak. Tapi dampaknya? Selalu terasa.
Ambil contoh sederhana. Ketika harga BBM naik seribu atau dua ribu rupiah per liter, banyak orang mengira dampaknya hanya dirasakan pemilik kendaraan. Padahal, kenyataannya jauh lebih luas. Harga bensin naik, ongkos kirim barang ikut naik, harga bahan makanan merangkak. Akhirnya, di pasar, sayur, telur, dan minyak goreng pun ikut-ikutan mahal.
Efeknya seperti efek domino. Satu jatuh, yang lain ikut tumbang.
Buat sebagian besar warga, yang hidup dari penghasilan pas-pasan atau bahkan harian, gejolak harga ini bukan cuma soal angka. Ini soal apakah uang cukup sampai akhir minggu. Soal apakah masih bisa beli beras satu karung, atau harus mencicil setengah kilo setiap hari.
Perubahan harga BBM dan sembako punya dampak langsung pada daya beli masyarakat. Dan ini bukan hanya istilah akademis. Ini soal keputusan di dapur: beli ayam atau cukup tempe? Naik ojek online atau jalan kaki lebih jauh?
Yang paling terasa, tentu pada sektor transportasi dan logistik. Ongkos angkutan naik, biaya distribusi barang jadi lebih tinggi. Dalam waktu singkat, sembako di pasar-pasar ikut menyesuaikan. Tidak ada yang bisa menolak hukum ekonomi ini: kalau ongkos naik, harga jual pun ikut naik.
Perekonomian nasional yang digadang-gadang membaik bisa terguncang oleh hal sesederhana ini. Karena konsumsi rumah tangga adalah pilar utama pertumbuhan ekonomi kita. Kalau orang mulai mengurangi belanja karena harga tinggi, maka roda ekonomi pun bisa melambat.
Jadi, apa yang bisa dilakukan masyarakat?
Pertama, kita harus lebih sadar dan aktif memantau perkembangan harga BBM dan sembako. Informasi bukan hanya milik para analis atau jurnalis ekonomi. Semua orang punya hak dan kepentingan untuk tahu. Akses informasi saat ini terbuka lebar. Tinggal pilih sumber yang terpercaya, dan rajin mengecek. Jangan cuma tahu harga di TikTok, tapi nggak pernah lihat situs resmi.
Kedua, atur ulang anggaran rumah tangga. Ini penting. Jangan sampai gaya hidup kita tetap sama, padahal harga-harga sudah naik. Belajar bikin prioritas. Mana yang wajib, mana yang bisa ditunda.
Ketiga, cari alternatif. Kalau BBM naik, mungkin saatnya coba naik transportasi umum, atau berbagi tumpangan. Kalau sembako mahal, bisa cari bahan pangan lokal yang lebih murah. Misalnya, saat harga cabai rawit melonjak, coba ganti ke jenis cabai lain. Masih pedas, tetap sedap.
Terakhir, hemat dengan bijak. Mengurangi konsumsi bukan berarti menurunkan martabat. Kadang justru bisa bikin hidup lebih sehat dan terarah.
Naiknya harga BBM dan sembako memang bukan hal yang bisa kita kendalikan secara langsung. Tapi cara kita merespons sangat menentukan seberapa besar dampaknya dalam hidup kita. Apakah kita akan panik? Atau kita bisa bersikap adaptif dan rasional?
Yang jelas, tidak ada salahnya jadi lebih siap. Karena perubahan harga tidak menunggu kesiapan siapa pun.
Kita semua ingin hidup yang stabil. Tapi realitas ekonomi sering kali penuh kejutan. Dan dalam dunia yang terus berubah ini, kesadaran finansial dan kemampuan bertahan jadi bekal paling berharga.
Pasar modal bisa saja naik turun. Harga saham bisa melambung atau ambruk. Tapi di luar lantai bursa, ada pasar yang jauh lebih menentukan: pasar kehidupan. Dan harga BBM serta sembako adalah indikator paling nyata dari kesehatan ekonomi rakyat biasa.
Maka di tengah semua hiruk pikuk, mari kita kembalikan fokus pada yang paling dasar: apakah masyarakat bisa makan cukup, bisa hidup layak, dan punya harapan?
Itulah ukuran paling jujur dari ekonomi yang berpihak.
Oleh : Anjas Prawira, S.Kom. (Kader Madya Pemuda Pancasila Ciracas, Jakarta Timur)