Foto suasana salah satu sudut alam di Indonesia
MONITORNUSANTARA.COM, JAKARTA-Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower-middle income country). Hal tersebut sebagai konsekuensi logis perubahan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita atau Gross National Income (GNI) Indonesia yang turun dari semula 4.050 dolar AS (2019) menjadi 3.870 dolar AS per tahun (2020).
Dalam laporan Bank Dunia disebutkan, Indonesia, Mauritius, Rumania, dan Samoa sangat dekat dengan ambang batas klasifikasi pada 2019 dan semuanya mengalami penurunan GNI per kapita terkait Covid-19 yang mengakibatkan klasifikasi lebih rendah pada tahun 2020.
Negara-negara lain yang mengalami penurunan kategori yakni Belize, Iran, Mauritius, Panama, Rumania, dan Samoa. Sementara itu, negara-negara yang bergeser ke kategori lebih tinggi adalah Haiti, Moldova, dan Tajikistan.
“Performa pertumbuhan yang berada pada level relatif tinggi telah mendorong pendapatan per kapita Indonesia ke kategori menengah ke atas, tetapi pandemi telah mengubah trajectory tersebut,” ujar Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Solikin Juhro pada agenda G20 bertajuk “Shifting Toward Higher Value-Added Industries”.
Dibandingkan negara-negara ASEAN, Indonesia ada dalam satu kelas dengan Myanmar, Kamboja, Filipina, Laos, serta Vietnam.
Malaysia dan Thailand termasuk negara berpendapatan menengah atas atau upper-middle income.
Sementara itu, Brunei Darussalam dan Singapura merupakan negara berpendapatan tinggi atau high income mengubah ambang batas GNI per kapita. Negara lower-middle income dikategorikan dalam rentang 1.046-4.095 dolar AS, upper-middle income 4.096-12.695 dolar AS, serta negara high income memiliki lebih dari 12.695 dolar AS.
Sebelumnya, Bank Dunia menetapkan negara lower-middle income memiliki GNI per kapita berkisar 1.035-4.045 dolar, negara upper-middle income sebesar 4.046-12.535 dolar AS, dan lebih dari 12.535 dolar AS untuk negara high income.
Solikin Juhro menyampaikan, pandemi Covid-19 merupakan alasan Indonesia gagal mempertahankan posisi sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas.
Menurut dia, pandemi telah menggerus proyeksi (trajectory) Indonesia sebagai negara berpenghasilan tinggi atau negara maju.
Optimistis
Meski demikian, BI masih optimistis Indonesia bisa menjadi negara maju, ditargetkan terwujud pada 2045.
Salah satu caranya, dengan mengungkit nilai tambah dari industri manufaktur yang merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.
Arif Budimanta, Staf Khusus Presiden Joko Widodo, juga menilai, pandemi menjadi penyebab turun kelasnya Indonesia.
Dikatakan, sejak awal 2020, seluruh dunia, termasuk Indonesia, masuk ke dalam pandemi. Penyelamatan masyarakat dan kesehatan menjadi prioritas, social distancing diterapkan dengan adanya PSBB dan PPKM sehingga mobilitas berkurang dan laju pertumbuhan ekonomi terkontraksi.
Menghadapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah harus fokus melakukan transformasi struktural, khususnya penguatan industri manufaktur yang menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja berkualitas.
“Integrasikan perkembangan digital untuk mendukung manufaktur dan pertanian. Sekarang terlihat industrinya ke barat, teknologinya ke timur akhirnya banjir impor barang jadi,” katanya.
Bhima menjelaskan, inovasi dan meningkatkan kualitas pendidikan juga tidak boleh dilakukan. Terakhir, perkuat jaring perlindungan sosial agar tidak ada yang tertinggal dalam proses mencapai negara maju. Tentu ada harapan Indonesia bisa naik kelas lagi.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang positif sepanjang 2021, Indonesia kembali ke jajaran negara berpenghasilan menengah atas (upper-middle income country).
Badan Pusat Statistik (BPS), Selasa 15 Februari 2022 melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi 2021 secara year-over-year, yaitu 3,7 peren.
PDB per kapita Indonesia naik dari Rp57,3 juta pada 2020 menjadi Rp62,2 juta pada 2021 atau setara dengan 4.349 dolar AS per tahun.
Airlangga Hartarto menegaskan, realisasi pertumbuhan ekonomi 2021 tersebut lebih tinggi daripada PDB sebelum pandemi yaitu 59,3 juta pada 2019. Artinya, Indonesia sudah kembali kepada upper-middle income country.
“Pencapaian tersebut tentu merupakan fondasi penting untuk pemulihan ekonomi dan kita perlu terus melakukan reformasi struktural agar kita bisa keluar dari middle income trap tahun 2035,” kata Airlangga Hartarto dalam Law & Regulation Outlook 2022, Rabu 16 Februari 2022.
Oleh karena itu, dia menegaskan, pemerintah bertekad mendorong pemulihan ekonomi nasional dan penanganan Covid-19 dengan dana PEN sebesar Rp455,62 triliun tiga klaster, yaitu klaster kesehatan sebesar Rp122,5 triliun, perlindungan masyarakat sebesar Rp154,8 triliun dan klaster penguatan pemulihan ekonomi Rp178,3 triliun.
Pemerintah juga optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat dicapai di 5,2 persen pada 2022.
Batas rerata
Pengamat Ekonomi dan Universitas Padjadjaran Ferry Hadiyanto mengatakan, ada tiga hal yang disoroti tentang turunnya kategori Indonesia dari negara berpenghasilan menengah ke atas menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah.
Pertama, posisi pendapatan perkapita Indonesia sebetulnya hanya sedikit di atas batas.
Kedua, pada 2021 Bank Dunia menaikkan batas pengelompokkan negara upper-middle income yang dari sebelumnya 4.046 dolar AS per kapita per tahun menjadi 4.096 dolar AS.
Ketiga, pada 2020, terjadi gangguan akibat pandemi yang menyebabkan terjadinya penurunan perekonomian yang dirasakan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.
Bahkan, akibat pandemi terjadi kenaikan pengangguran di Indonesia sekira 2-2,5 persen. Hal tersebut secara otomatis berdampak pada menurunnya pendapatan per kapita Indonesia.
“Bandingannya sebelum pandemi, kalau kita melihat kondisi yang ada, wajar mengalami penurunan. Tapi ini bukan tanpa sebab, bukan ceteris paribus. Melainkan karena penyebabnya aspek eksternal, World Bank menaikkan batas dan ada pandemi,” katanya, Kamis 17 Februari 2022.
Dengan demikian, Ferry menekankan, penurunan tersebut bukan karena adanya kemampuan atau perekonomian Indonesia yang turun, melainkan di luar kontrol dan kemampuan Indonesia.
“Ini bukan karena kesalahan kebijakan. Berbeda, kecuali jika tidak ada faktor eksternal kemudian tiba-tiba mengalami penurunan klasifikasi,” katanya.
Ferry menjelaskan, klasifikasi negara tersebut bukan konteks keberhasilan ekonomi jangka pendek tapi jangka panjang.
Meski demikian, dengan adanya penurunan tersebut, ada sisi positif yang bisa dilihat, yakni Indonesia harus mulai memikirkan restrukturisasi ekonomi Indonesia setelah pendemi.
“Mau apa? Menkeu sudah meng-address, ada perubahan di sektor manufaktur yang konteksnya untuk jangka panjang. Hikmah lainnya, jika ingin mengejar batasan threshold agar bisa kembali masuk ke upper maka kita harus memikirkan kembali pembangunan jangka menengah dan panjang,” katanya.
Selain restrukturisasi sektor manufaktur, kata Ferry, perubahan perilaku. UMKM bisa menjadi senjata recovery yang bagus ditambah dengan kekuatan digital ekonomi, teknologi 4.0, dan e-commerce.
“Transformasi industri berusaha menyelaraskan kepentingan industri kecil menengah dan besar, dengan tata niaga perniagaan perdagangan yang dikembangkan di Indonesia berbasis digital. Jadi dasar untuk melakukan perubahan, transformasi perkenomian Indonesia ke depan,” katanya.
Meski demikian, bagi Ferry, yang terpenting saat ini adalah bukan mengenai penurunan klasifikasi, melainkan poin pentingnya adalah memastikan pertumbuhan ekonomi tetap optimistis dan positif. Menjaga momentum pertumbuhan ekonomi agar tidak turun lagi.
“Orientasi ekonomi harus jelas sehingga momentum tren positif pertumbuhan ekonomi bisa dinaikkan. Jangka menengah akan naik lagi. Kemudian, pastikan pengangguran yang meningkat bisa terserap lagi pasar kerja, kembali ke kisaran kerja. 7-6 persen. Kalau itu bisa diselesaikan, akan kembali lagi (masuk kategori upper),” katanya.***