Jakarta, MONITORNUSANTARA.COM,- Praktisi hukum Edi Winarto mengungkapkan pemegang saham Bank Centris Internasional (BCI) Andri Tedjadharma jelas-jelas terbukti tidak menerima aliran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hal tersebut diperjelas dari alat bukti dan saksi yang dihadirkan di sidang uji materi Perpu Nomor 49 tahun 1960 di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Ada empat alat bukti yang diajukan yakni, dua audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kemudian salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688 yang patut diduga dipalsukan, rekening koran yang tidak pernah ada sampai sekarang, dan pernyataan Bank Indonesia bahwa Bank Centris Internasional tidak terima SPBUK,” ungkap Edi Winarto di Jakarta, Senin (14/7/2025)

Oleh sebab itu Edi Winarto mendesak agar harta Andri Tedjadharma dan keluarganya yang disita PUPN atas nama negara dibatalkan. Karena tuduhan Andri Tedjadharma sebaga obligor BLBI dan penyitaan yang dilakukan Satgas BLBI mendasarkan audit BPK. Sementara audit BPK jelas-jelas tidak menyebutkan Andri Tedjadharma sebagai penerima BLBI.

“Audit BPK seharusnya menjadi dasar membatalkan seluruh tuduhan. Kasus Andri telah menjadi bukti negara tak percaya auditnya sendiri,” tegas Edi Winarto.

Menurut Edi Winarto, pemegang saham Bank Centris Andri Tedjadharma mengantongi dua dokumen audit resmi BPK yang seharusnya membatalkan seluruh tuduhan terhadap dirinya.

Pertama, dokumen hasil audit BPK digunakan sebagai dasar gugatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terhadap Bank Centris ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2000 No. 350/Pdt.G/2000.

Padahal, lanjut pengacara senior ini, hasil audit BPK itu menunjukkan Bank Centris tidak menerima dana BLBI.

“Dalam audit BPK dinyatakan secara eksplisit bahwa Bank Centris Internasional tidak menerima dana BLBI dari Bank Indonesia,” tegas Edi Winarto.

Sedangkan penerima dana justru adalah entitas bernama Centris International Bank, sebuah “rekening jenis individual” yang tidak dikenal secara resmi dalam sistem perbankan nasional.

“Dana dicairkan ke rekening bernama Centris Bank, entitas yang tidak memiliki izin operasi perbankan,” imbuhnya.

Kedua, pada Laporan Audit BPK tahun 2006 tentang pertanggungjawaban penyelesaian BLBI oleh BPPN dijadikan dasar penetapan Andri sebagai penanggung utang negara.

Dasar penetapan ini justru salah besar. Karena audit itu tidak mencantumkan Bank Centris sebagai bank yang diselesaikan BPPN, dan tidak terdaftar bank PKPS.

“Dalam laporan ini, Bank Centris tidak masuk dalam daftar bank yang ditangani BPPN. Bank Centris Internasional telah dialihkan penanganannya ke Kejaksaan Agung, dan menunggu proses di Mahkamah Agung,” katanya.

Hal ini semakin diperkuat oleh fakta Bank Centris Internasional tidak pernah menandatangani APU (Akta Pengakuan Utang), MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement), maupun MRNIA (Master Refinancing and Notes Issuance Agreement), dokumen hukum yang menjadi dasar penagihan negara dalam skema PKPS.

“Tak ada bukti sama sekali Bank Centris tanda tangan semua dokumen itu,” paparnya.

Menurut Edi Winarto, audit BPK terhadap BPPN terkait PKPS Tahun 2006 harus diperjelas lagi, bahwa tidak ada satu pernyataan di audit BPK tentang PKPS tersebut yang menyatakan Andri Tedjadharma sebagai penanggung hutang dan berapa nilai hutangnya.

“Tapi kenapa bisa jadi dasar surat Kemenkeu Nomor 589 yang menetapkan Andri Tedjadharma sebagai penanggung hutang yang nilainya sangat besar nyaris lebih dari Rp 800 an miliar. Padahal tidak ada di audit BPK, dari mana angka nominal tersebut? Perkiraan atau hanya taksiran meraba-raba di jalan buta, yang sama sekali tidak pasti menurut hukum seperti yang tertulis di Perpu Nomor 49 dan PP Nomor 28,” kata Edi Winarto.

Salinan Keputusan MA Nomor 1688 pun yang dipergunakan sebagai dasar penyitaan adalah palsu dengan surat dari MA dan kesaksian mantan hakim Agung Bagir Manan serta putusan MA tersebut tidak membatalkan keputusan PT.

Ketika institusi negara mulai mengabaikan audit resmi dari lembaga sekelas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maka yang dipertaruhkan bukan hanya kredibilitas pemerintah, tetapi juga masa depan penegakan hukum di republik ini.

Itulah gambaran situasi yang sedang terjadi dalam kasus penyitaan aset pribadi Andri Tedjadharma, pemegang saham Bank Centris Internasional, yang ditagih oleh PUPN, Satgas BLBI dan KPKNL, tanpa dasar hukum yang sah dan objektif, dan kini bergulir di Mahkamah Konstitusi dalam uji materi UU 49 (Prp) tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

Semua temuan tersebut telah dipaparkan dalam permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, ironisnya, hingga kini pemerintah melalui KPKNL Jakarta, masih tetap melanjutkan penagihan dan penyitaan bahkan pelelangan, seolah audit BPK tidak memiliki kekuatan hukum apa pun.

Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi

Di sinilah bahayanya. Bila Mahkamah Konstitusi mengabaikan audit BPK yang sah dan resmi, maka putusan MK nanti akan menjadi yurisprudensi berbahaya—bukan untuk memberantas korupsi, melainkan justru menjadi jalan keluar bagi pelaku korupsi yang cerdik. Mereka cukup menolak hasil audit BPK yang memberatkan, lalu membangun narasi sendiri tanpa dasar audit.

Di luar itu, jika negara sendiri tidak menghormati auditnya, mengapa pelaku korupsi harus takut pada audit di masa depan? Apa jadinya sistem hukum jika lembaga auditor tertinggi negara tidak lagi dipercaya oleh otoritas negara itu sendiri?

Kasus Andri Tedjadharma adalah peringatan serius. Jika audit BPK tidak dihormati, maka siapapun juga bisa menjadi korban berikutnya. Negara hukum berubah menjadi negara tafsir, dan penyelesaian korupsi tidak lagi berbasis fakta, melainkan asumsi kekuasaan. (tim)

Ikuti MONITORNusantara.com di Google News

Sempatkan juga membaca artikel menarik lainnya, di portal berita EDITOR.id dan MediaSosialita.com